Postingan

Menampilkan postingan dengan label Catatan Pendek

Tujuh Tahun, Tiga Penerbangan, dan Satu Gampong yang Berubah

Gambar
Sudah sejak pagi buta saya di Bandar Udara Rahadi Oesman, Ketapang. Tidak tidur semalaman sebab takut kesiangan, padahal tubuh sudah minta istirahat. Saya belum berani minta tolong Ayas bangunin, entah kenapa kalau alarm sampai meledak pun saya belum tentu bangun, tapi telpon dari Yang Mulia satu itu berbeda. Di ruang tunggu yang pengap itu, kipas menggoyang udara tanpa hasil. Jaket yang saya kenakan terasa salah kostum.  Mas Huda GM kami bilang, "Tenang, Mahéng, cerah." Saya mengangguk, meski kepala terasa berat dan mata pedih. Buat saya, penerbangan pertama selalu yang paling melelahkan. Apalagi kalau pagi buta sudah harus ke bandara. Mungkin karena tubuh belum sempat percaya bahwa ia akan berpindah begitu jauh. Berganti cuaca, dan budaya. Tidak jarang saya sering drop jika pindah daerah terlalu sering, apalagi pindah pulau seperti ini. Pagi itu 30 Oktober, saya hanya ingin segera sampai, di saat yang sama juga diam-diam takut bertemu hal-hal y...

Sumpah Pemuda: Saat Kita Bicara Satu Bahasa, Tapi Melupakan 718 yang Lain

Gambar
Setiap 28 Oktober, kita merayakan Sumpah Pemuda dengan ikrar "Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia."  Ini adalah momen krusial untuk persatuan. Namun, bagi saya, perayaan ini juga selalu mengingatkan pada duka kolektif yang tak terucapkan.  Bagaimana nasib 718 bahasa daerah yang menjadi akar identitas kita? Bahasa bisa bikin kita paham, tapi juga bisa bikin malu di depan satu warung. Dari "ora mas" di Jogja sampai "jangak" di Ketapang, saya belajar Indonesia lewat serangkaian momen culture shock bahasa memalukan.  Dan mungkin generasi setelah saya nggak akan punya kesempatan yang sama untuk belajar Indonesia sedalam itu. Sejak lulus MI saya sudah merantau. Dari tsanawiyah sampai aliyah, hidup saya lebih sering di tempat orang. Jadi waktu pertama kali ke Jogja tahun 2014 untuk kuliah, saya merasa sudah kebal dengan segala macam kultur baru. Saya pikir, harga kosan dan manisnya gudeg nggak akan mampu mengg...

Sudah Mau November Lagi: Catatan Tentang Luka, Doa, dan Pulang ke Diri Sendiri

Gambar
Sudah setahun sejak saya ditinggalkan oleh orang yang dulu saya sebut cinta. Sekarang, ketika November hampir datang lagi, saya sadar, ternyata waktu memang guru yang baik. Dulu, saya menghabiskan siang dan malam dengan lagu Bernadya, “ Untungnya, Hidup Harus Tetap Berjalan .”  Di masa itu, setiap lirik terasa seperti tangisan kecil yang menemukan gema. Saya tidak bisa berbuat apa-apa, bahkan mengetik yang biasanya jadi pekerjaan saya, tidak bisa saya lakukan. Saya menghabiskan banyak waktu dengan menangis di sudut-sudut Sekretariat Nasional Jaringan GUSDURian.  Bukan sekadar menyuguhkan kopi. Ini adalah momen saya menemukan arti move on yang sesungguhnya di Jaringan GUSDURian. Beruntung GUSDURian Jogja jadi tempat yang aman untuk pulih. Sekarang, lagu yang sama terdengar seperti senyuman masa lalu penuh ironi tapi hangat.  Ini adalah inti dari belajar dari perpisahan yang sesungguhnya. "Life is a tragedy when seen in close-up, but a comedy in long-shot." — Charl...

Repotnya Berjualan di Pasar Kite Sungailiat: Filosofi Dagang 'Anti Ditawar' di Tengah Pandemi

Gambar
Aku berhenti melaju setelah melihat parkir motor berbaris rapi. Tulisan Pasar Kite Sungailiat Bangka masih diselimuti hawa dingin dan mengembun. Minggu 3 Mei 2020. Tepat hari ketiga aku belajar berjualan secara tradisional. Aku mulai mengelilingi setiap inci pasar dan harus berdesak-desakan dengan pedagang lain. Melangkah menembus hiruk-pikuk dan teriakan-teriakan penjual. “Anti bocor”.  “Tiga Sepuluh,” ujarnya tanpa henti. Sebuah pertanyaan ramah  terlontar membuatku menoleh.  “Dari Pangkal (Pangkalpinang) bang?,” tanyanya sambil berkenalan. Setiap pasang mata pembeli aku sapa sambil menawarkan daganganku: “Serbet ajaib, dicuci basah, dijemur kering.”  Paling tidak kalimat itu dapat menghibur diriku sendiri yang masih canggung dan (sedikit) gengsi. Kios ikan-ikan menjadi pelabuhan terakhirku untuk melepas lelah setelah mengelilingi pasar dalam keadaan berpuasa. Hiruk Pikuk Pasar Kite dan Dampak COVID-19 Pengunjung Pasar Kite tergolong ramah da...

Untuk Diriku Sendiri yang Terbangun Malam-Malam

Gambar
Aku terbangun di tengah malam. Bukan karena mimpi buruk, tapi karena pikiranku terlalu ramai.  Ada banyak hal yang berputar-putar. Tentang orang yang kusayang, tentang kehilangan, tentang waktu, tentang rasa yang kadang hangat, kadang menakutkan. Dalam gelap yang sunyi, aku mendengar detak jantung dan langkah pikiranku yang tidak mau diam. Mungkin beginilah bentuk perjalanan menuju dewasa: tidak selalu berupa kemajuan, adakala hanya duduk diam sambil menunggu hati reda. Di usia yang hampir menginjak kepala tiga ini, aku pikir perbaikan diri berarti menjadi lebih produktif, lebih tenang, lebih tahu arah.  Tapi belakangan aku belajar, self-improvement tidak selalu tampak seperti kenaikan grafik. Kadang, ia hadir dalam bentuk kejujuran paling sederhana seperti mengakui bahwa aku sedang takut. Aku takut kehilangan seseorang yang aku sayang. Tapi lebih dari itu, aku takut kehilangan diriku sendiri di tengah rasa itu. Ketakutan ini tidak datang tiba-tiba. Ia tumbuh dari pengalaman ...

Represi Pers Mahasiswa: Perjuangan PPMI dan Kebangkitan Suara USU

Gambar
PUKUL setengah empat pagi, Sabtu 30 Maret 2019.  Jalanan kota Medan masih becek sisa hujan, dan suasana terasa sunyi, seolah-olah seluruh kota masih mencoba menunda kenyataan.  Hanya saya yang terbangun dengan penuh harap dan sedikit rasa cemas. Pagi ini, saya harus terbang ke Jakarta, melanjutkan perjalanan ke Pangkalpinang, Bangka Belitung. Raut wajah Dinda, yang masih tertidur pulas di sekretariat, terlihat lelah. Di sisinya terbaring Mila, salah satu mahasiswa yang cukup vokal menyuarakan isu-isu pemberdayaan perempuan.  Mereka adalah para pejuang yang kehilangan rumah . "Pamit dulu, makasih udah dijemput," ucap saya melalui pesan singkat. "Heee, Mahengggg, belom foto. Kok gak kau banguni aku.... Ehhhh, kamprettt. Sumpah dongkol kali, aku sedih ni serius," balasan dengan logat Sumatera itu saya terima saat hampir menaiki pesawat. Logat kekecewaan yang kental itu menjadi penanda pahit: kami baru saja meninggalkan medan pertempuran. Rumah y...

Refleksi Aktivisme: Dramaturgi Politik, Aksi Massa Tan Malaka, dan Perjalanan Jogja-Cilacap

Gambar
CUACA malam ini tidak terlalu mendukung untuk berlalu-lalang di luar rumah. Angka pasien Covid-19 masih tumbuh.  Sekilas cuaca di langit terlihat mendung dan dingin. Jalan di gang-gang sempit masih becek bekas hujan. Sabtu 10 Oktober 2020 kami meninggalkan kota Yogyakarta. Setelah bergantian membasuh badan, kami bergegas menaiki Elf Microbus yang sudah dibooking sejak siang. Saya sendiri lebih memilih posisi di kursi tengah, paling tidak di belakang sopir. Terlalu ke belakang bisa bahaya.  Saya akan mengeluarkan beberapa kantong cairan. Kami mulai beranjak sekitar pukul 02.15 dini hari. Dalam ingatan saya paling tidak ada sekitar 14 orang dalam Microbus itu. Karena tinggal serumah, kami rasa tidak perlu menjaga jarak. Toh di rumah juga satu meja makan. Dalam Microbus yang gelap tampaknya hanya saya yang susah tidur malam. Orang macam saya tidak bisa tidur secara 'normal' seperti manusia kebanyakan. Karena sejak menjadi jurnalis, saya 'dilatih' u...

Mencari Toko Buku di Tanah Kayong yang Kaya Tradisi tapi Miskin Akses Literasi

Gambar
Beberapa waktu lalu, seusai acara Yayasan IAR Ketapang, muncul seorang ibu yang entah dari dimensi mana, nyamperin saya dengan semangat kayak baru ketemu bintang iklan lotion penghalus dengkul. “Mahéng!” ujarnya fasih dan penuh semangat, seolah kami sudah lama nggak ngopi bareng di Kafe Basabasi Condongcatur, tempat ratusan korea-korea yang ingin melenting itu biasa nongkrong. Saya spontan nyengir, sementara otak saya kerja keras menggali data diri ibu ini. Begitu saya minta maaf karena lupa wajah dan namanya, ia malah ketawa. “Oh, kita emang nggak saling kenal. Saya cuma tahu kamu dari esai.” Saya menduga esai yang dimaksud adalah tulisan saya berjudul Nyari Toko Buku di Ketapang Lebih Susah daripada Nyari Kuyang? Tanah Kayong: Kaya Tradisi, Miskin Akses Literasi Ketapang dulu disebut Tanah Kayong, tempat kerajaan Tanjungpura yang sudah ada sejak abad ke-8. Ia pernah menjadi salah satu kerajaan terbesar di Kalimantan Barat. Kesultanan Matan yang meneruskannya dikenal sebagai perada...

Branta, Pelabuhan Seratus Miliar yang Jadi Ruang Sunyi bagi Nelayan Madura

Gambar
Seratus miliar rupiah.  Itu adalah biaya fantastis yang konon telah ditelan oleh pembangunan Pelabuhan Kelas III Branta di Pamekasan sejak 2003. Angka sebesar itu terukir dalam ingatan, kontras dengan bangunan yang tampak nggak seberapa megah di depan mata saya. Di balik tembok beton yang memicu perdebatan anggaran itu, pelabuhan ini tetap menjadi titik temu. Buat kami, ia adalah tempat melepas penat senja. Buat warga sekitar, ia adalah satu-satunya urat nadi: tempat para nelayan menggantungkan harapan. DI ANTARA hiruk-pikuk kota Pamekasan di Pulau Garam, sebuah pelabuhan menjadi tempat favorit bagi muda-mudi untuk memancing, termasuk memancing perasaan.  Di pintu masuknya tertulis Pelabuhan Kelas III Branta. Lokasinya nggak jauh dari IAIN Madura, tepatnya di Desa Branta Pesisir, Kecamatan Tlanakan, Pamekasan, Madura. Proses pembangunannya, pelabuhan ini telah menelan biaya setidaknya seratus miliar rupiah – versi Koran Madura – sejak 2003 silam. Sempat mangkrak setelah menel...

Dari Ladang ke Strasbourg: Refleksi tentang Alam, Budaya, dan Perempuan

Gambar
GUNUNG MERAPI kembali erupsi pada Sabtu, 11 Maret 2023. Kata orang, erupsi itulah yang bikin cuaca Yogyakarta terasa menyengat sepekan terakhir.  Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Sri Sultan Hamengku Buwono X bilang, perlu ada tindakan untuk menambal lahan-lahan berlubang di sekitar gunung yang rusak akibat aktivitas tambang pasir. Yang jelas hari ini mentari nggak mampu bersinar terang, terhalang awan hitam menghadang. Hari berganti dengan semestinya, cuaca berang terasa hampa. Malam tiba nggak berasa. Benih kacang panjang yang saya tanam kini mulai berbunga.  Tanaman dengan batang panjang dan membelit dari leguminoceae ini mulai tampak pada umur empat hingga enam minggu setelah kecambah muncul, dan polong yang bisa dimakan terbentuk sekitar dua minggu setelah antesis. Selain vigna sinensis, saya menanam beberapa jenis sayur mayur seperti kecipir. Di Sumatera, dikenal dengan kacang botol. Ada juga mentimun, kunyit, jahe, singkong, terong hingga cabai dan tomat. Ada ...