Natal di IAR Ketapang: Tentang Bakso dan Belajar Menjadi Manusia
“Yang Natal kami, yang paling heboh Pak Peter.”
Zefan mengatakannya sambil tertawa, setengah bercanda, setengah maklum.
Nita menimpali cepat, “Pak Peter mah alumni.”
Bakso, Natal, dan Percakapan yang Biasa
Saya nggak ketawa berlebihan. Nggak juga terkejut. Reaksi pertama saya justru datar, hampir hambar. Bukan karena kalimat Nita nggak lucu, tapi karena situasi seperti itu bukan lagi hal baru dalam hidup saya.
Saya sudah cukup lama hidup di ruang-ruang lintas iman; dari Jogja, dari Komunitas GUSDURian, hingga terbiasa berkumpul tanpa perlu bertanya dulu siapa percaya apa.
Entah kenapa, setelah kalimat itu berlalu, saya justru kangen Jogja. Ingatan saya melompat ke Susteran Carolus Borromeus. Tiap Natal, kami disuguhi semangkuk bakso mewah yang waktu itu terasa mahal buat anak kos.
Saya ingat betul rasa bahagianya bukan pada Natalnya, tapi pada baksonya.
Lalu saya tersadar, di Yayasan IAR Ketapang pun hampir setiap perayaan selalu ada bakso. Natal ada bakso. Ulang tahun big boss pun ada bakso. Saya mulai bertanya-tanya, ada apa sebenarnya dengan bakso? Kenapa makanan ini seolah menjadi bahasa universal kebersamaan?
Mungkin karena bakso nggak pernah menanyakan agama siapa pun yang memakannya.
Peter dan Cara Hadir sebagai Manusia
Dan bicara soal bakso di IAR, kita bicara soal Immanuel
Peter Sumarsono.
Di kepala saya, Peter hari itu bukan simbol filosofi rumit. Ia bisa menjadi banyak hal sekaligus: Supervisor Learning Center Sir Michael Uren Ketapang, orang tua, rekan kerja, kepala chef, atau teman bercanda.
Yang saya lihat, ia berada di garis depan—di dapur dan urusan logistik yang membuat orang-orang bisa makan dengan layak.
Yang paling “ramai” dari Peter bukan pidatonya, tapi tawanya.
Ia hadir bukan sebagai “mualaf”, bukan sebagai “mantan Kristen”, bukan pula sebagai “yang sekarang Muslim”. Ia hadir sebagai manusia yang sedang senang berada di tengah orang-orang.
Natal di IAR, buat saya, bukan hanya peristiwa ibadah. Ia lebih mirip alasan administratif untuk berkumpul. Nggak ada ritual keagamaan di sana. Yang ada hanya makan, duduk, saling sapa, dan satu-dua orang diminta maju menyampaikan harapan.
Plus, ritual wajib generasi colokan: sesi foto bersama.
Budaya Ngumpul dan Toleransi yang Nggak Ribut
Di sela itu, muncul candaan antik: perjodohan. Karena belum semua orang di kantor ini menikah, termasuk saya.
Biasanya ketika dijodohkan atau didoakan punya pasangan di Ketapang, saya langsung menimpali, “Saya sudah punya calon. Di BSD.” Lalu mereka jahil, “Lah itu kan yang di sana, di Ketapang beda lagi.”
Saya menjawab setengah serius, “Nggak, maaf. Yang sana dapetnya susah, jadi harus saya rawat sebaik mungkin.” Kalimat itu biasanya menutup obrolan.
Bukan karena mereka setuju, tapi karena mereka paham batas bercanda.
Budaya "ngumpul" seperti ini sebenarnya bukan hal baru di Ketapang Kalimantan Barat. Saya teringat diskusi dengan Hendri Muhammad, atau Een, Public Relation and Liaison Officer IAR, Juni lalu.
Saya sampai pada satu kesimpulan bahwa toleransi adalah budaya alami orang Ketapang.
Jauh sebelum istilah "toleransi" diperkenalkan secara akademik, masyarakat di sini sudah hidup dengan kesadaran menjaga.
Een bilang, dulu sebelum ada pelajaran PPKN, ia bahkan nggak tahu kalau toleransi itu sesuatu yang harus "diajarkan". Buatnya, hidup berdampingan ya memang hal yang biasa saja.
Sebab dalam teori akademik, toleransi itu ibarat obat; ia baru dicari saat kita merasa sakit atau ada yang "intoleran". Pertanyaannya, apakah selama ini masyarakat Ketapang memang sakit?
Ribuan tahun masyarakat Ketapang hidup berdampingan tanpa seminar toleransi. Tanpa spanduk. Tanpa jargon.
Maka makan bareng di Kafetaria Learning Center IAR hari itu nggak sedang mengajarkan apa-apa. Ia hanya mengingatkan bahwa hidup bersama memang sudah sewajarnya begitu.
Agama dan Kerinduan yang Nggak Harus Diputus
Tentang Peter, saya nggak tahu banyak soal perjalanan imannya. Tapi saya percaya, dalam perpindahan iman, yang harus diputus adalah urusan teologis—bukan urusan sosiologis.
Emosi, kenangan, kegembiraan, dan tawa nggak otomatis gugur hanya karena seseorang mengucap syahadat. Mualaf bukan berarti menghapus seluruh memori hidup.
Natal pernah jadi rumah. Dan di rumah itu, mungkin ada kenangan lama yang akan selalu dirindukan, walau hari ini Peter sudah menetap di alamat yang berbeda.
Dalam urusan agama, yang paling ribut biasanya adalah mereka yang nggak saling kenal. Saya ingat kalimat Leonardo da Vinci: “Dia yang sudah yakin benar nggak akan teriak-teriak.”
Dulu, sebelum saya ke Jogja dan belajar Sosiologi Agama, saya melihat yang berbeda sebagai musuh. Yang bukan Muslim adalah kafir, dan kafir adalah lawan.
Hari ini, saya nggak sedang merayakan teologi Natal. Saya nggak mengimaninya. Tapi saya bahagia melihat manusia bisa duduk bersama. Merayakan adalah bentuk apresiasi dan cinta, sementara "memiliki" adalah hasrat menguasai.
Dua hal itu sering tertukar.
Sering kali kita takut berdampingan karena potongan hadis tentang "menyerupai suatu kaum" tanpa mengecek asbabul wurudnya. Padahal hidup bersama nggak selalu berarti menyerupai.
Adakalanya ia hanya berarti duduk melingkar, makan bakso, dan membiarkan seseorang tertawa terlalu heboh di hari yang mungkin secara administratif dan teologis bukan lagi miliknya.
Mungkin itu sebabnya agama ada: bukan untuk membuat kita merasa paling benar di hadapan Tuhan, tapi agar kita punya alasan untuk belajar menjadi manusia di hadapan semesta.
.jpg)
Leave a Comment