Postingan

Menampilkan postingan dengan label Tentang Mahéng

Tujuh Tahun, Tiga Penerbangan, dan Satu Gampong yang Berubah

Gambar
Sudah sejak pagi buta saya di Bandar Udara Rahadi Oesman, Ketapang. Tidak tidur semalaman sebab takut kesiangan, padahal tubuh sudah minta istirahat. Saya belum berani minta tolong Ayas bangunin, entah kenapa kalau alarm sampai meledak pun saya belum tentu bangun, tapi telpon dari Yang Mulia satu itu berbeda. Di ruang tunggu yang pengap itu, kipas menggoyang udara tanpa hasil. Jaket yang saya kenakan terasa salah kostum.  Mas Huda GM kami bilang, "Tenang, Mahéng, cerah." Saya mengangguk, meski kepala terasa berat dan mata pedih. Buat saya, penerbangan pertama selalu yang paling melelahkan. Apalagi kalau pagi buta sudah harus ke bandara. Mungkin karena tubuh belum sempat percaya bahwa ia akan berpindah begitu jauh. Berganti cuaca, dan budaya. Tidak jarang saya sering drop jika pindah daerah terlalu sering, apalagi pindah pulau seperti ini. Pagi itu 30 Oktober, saya hanya ingin segera sampai, di saat yang sama juga diam-diam takut bertemu hal-hal y...

Tantangan Menulis Tentang Komunitas dan Budaya Lokal: Catatan Reflektif dari Runduma

Gambar
Esai Bagian 3 dari Seri "Perjalanan Menulis Buku Runduma" (Etika dan Refleksivitas Etnografi) "Yang paling akhir dari sebuah perjalanan adalah pengalaman yang bisa jadi pengamalan." — Mahéng, Runduma: Surga Kecil di Wakatobi Dari Niat Memberdayakan ke Pembelajaran Mendalam Ketika pertama kali berangkat ke Pulau Runduma, saya datang dengan semangat volunteer yang lazim: membawa serta pengetahuan untuk "memberdayakan masyarakat lokal."  Pendidikan formal dan bacaan akademik yang saya miliki membuat saya merasa cukup siap berkontribusi. Namun, Runduma segera mengubah semuanya. Di hadapan realitas kehidupan Runduma saya justru dihadapkan pada kenyataan yang berbeda: saya yang harus belajar untuk lebih "pintar" memahami kehidupan. Pengalaman ini mengajarkan saya tentang positionality dan reflexivity dalam penelitian etnografi.  Posisi saya sebagai outsider (orang luar komunitas...

Proses Riset Lapangan dan Wawancara dalam Menulis Buku Runduma

Gambar
Esai Bagian 2 dari Seri "Perjalanan Menulis Buku Runduma"   Setiap tulisan yang otentik lahir dari telinga yang mau mendengar dengan baik. Dalam penulisan Runduma: Surga Kecil di Wakatobi , riset lapangan menjadi jembatan krusial antara data faktual, pengalaman personal, dan suara masyarakat  yang hidup berdampingan dengan laut.  Proses ini mengubah catatan lapangan menjadi kisah hidup yang membumi serta dapat dipercaya. Artikel ini membedah sebagian kecil metodologi yang saya gunakan di Pulau Runduma, dari merancang riset sosiologis hingga menerapkan etika storytelling , yang secara fundamental membentuk narasi dalam buku. 1. Merancang Riset Lapangan: Dari Peta ke Pulau Tulisan nonfiksi kreatif memerlukan peta penelitian yang fleksibel.  Langkah awal riset bukan hanya menandai koordinat, tetapi memahami sejarah dan struktur sosial yang mendasarinya.  Saya mempelajari bahwa penduduk Runduma berasal dari Tiga ...

Runduma Wakatobi: Menjelajahi Surga Terluka (Catatan Penulis dan Latar Belakang Sosiologis)

Gambar
Esai Bagian 1 dari Seri "Perjalanan Menulis Buku Runduma" Ketika Peta Bicara Lebih dari Koordinat Ada dua alasan mengapa seorang penulis memilih sebuah tempat sebagai latar cerita.  Pertama, karena ia pernah berada di sana—fisiknya menyentuh tanah, matanya menatap horison, telinganya mendengar suara ombak atau angin malam.  Kedua, karena tempat itu punya jiwa yang seolah memanggil, mengajak dialog yang lebih dalam dari sekadar keindahan visual. Wakatobi, khususnya pulau kecil Runduma, menjadi setting buku saya Runduma: Surga Kecil di Wakatobi karena kombinasi kedua alasan tersebut.  Ini bukan pilihan yang lahir dari rekomendasi wisata, tapi dari pengalaman langsung dan refleksi mendalam tentang apa artinya menjadi bagian dari Indonesia. Terutama Indonesia yang jarang terdengar, yang terlupakan. Wakatobi: Di Balik Akronim yang Eksotis Wakatobi adalah akronim dari empat pulau utama: Wangi-Wangi, Kaledupa, ...

Mahéng: Arti Sebuah Nama dan Perjalanan Menemukan Diri

Gambar
Kita harus keluar kamar agar mengetahui kondisi rumah kita yang sesungguhnya. ** Orang memanggilnya  Ajeng (AJJANK) , salah satu siswa dari Gampong Paya Baro, sebuah desa di pelosok Aceh Barat yang melanjutkan pendidikan ke Yogyakarta. Aku pertama kali bertemu dengannya di penghujung Mei 2014. Kami kebetulan satu pesawat menuju kota yang sama.  Dari sekian banyak nama, ia lebih senang dipanggil Ajeng. Katanya, nama itu pemberian seseorang yang sangat spesial. Sejak kecil ia punya banyak nama, berpindah sekolah, dan bahkan pernah jadi buron tentara. Semua bukan sekadar untuk bisa makan, tapi agar bisa tetap hidup. “Karena Ayah saya punya jabatan pemerintahan, sama GAM dianggap Indonesia, sama tentara dianggap GAM. Kami tidak lebih seperti keluarga PKI diperlakukan oleh kedua pihak. Mirip Hoakiao pada zaman Soeharto.” Ayah Ajeng,  Ali Kasem , menjadi Geuchik sejak Ajeng berumur sembilan hari hingga sekitar 2008. Tak ada yang mau menggantikan posisinya. Waktu itu, jadi Geuch...