Dari Sosiologi Agama ke Menulis: Catatan Mahéng tentang Pendidikan dan Pilihan Menjadi Penulis
Saya baru paham arti “anak tiri” bukan dari keluarga, tapi dari sekolah.
Dari situlah saya mulai mengenal sebuah sistem pendidikan yang sejak awal memutuskan siapa yang pantas unggul dan siapa yang cukup tahu diri.
Pengalaman itu pertama kali saya rasakan saat masih sekolah menengah.
Dulu sekali, sekitar 2013 atau 2014, saya sekolah di Madrasah Aliyah Negeri 1 Aceh Barat, waktu itu masih disebut MAN Meulaboh.
Salah satu sekolah yang diberi label “unggul”. Label yang belakangan justru sering saya pertanyakan.
Bukan karena sekolahnya buruk. Sama sekali nggak. Tapi kata “unggul” itu terasa janggal.
Bukankah pendidikan seharusnya membuat yang belum unggul menjadi unggul? Kalau sejak awal sudah ada sekolah unggul dan yang nggak, lalu fungsi mendidiknya di mana?
Kasta di Balik Label Unggul
Di sekolah saya, keunggulan itu punya kasta. Ilmu Pengetahuan Alam berada di puncak. Di mata guru, di mata sekolah, dan di mata sosial.
Sementara saya ditempatkan di Ilmu Pengetahuan Sosial. Jurusan yang kami plesetkan sendiri menjadi Ikatan Pelajar Santai.
Dan justru karena “dibuang” ke IPS itulah saya mengenal sosiologi dan akuntansi, dua hal yang diam-diam mengubah arah hidup saya kemudian hari.
Saya pernah ikut olimpiade akuntansi tingkat provinsi. Guru akuntansi saya bangga. Tapi buat sekolah, saya tetap biasa saja.
Alasannya sederhana, sebab saya anak IPS.
Kalau ada tamu dari luar datang, yang diminta menyambut hampir selalu anak IPA. Fasilitas kelas yang layak juga lebih dulu jatuh ke mereka. Ketimpangan itu terasa begitu normal, sampai beberapa anak IPS, ikut berdemo ke kantor kepala sekolah menuntut perlakuan yang sama.
Setelah demo itu, anak IPS akhirnya diberikan mandat juga mewakili sekolah. Upacara bendera.
Kami tetap ikut upacara bendera itu, tetap hormat pada negara, meski kami juga protes.
Kenapa ruang berpendingin selalu untuk anak IPA, sementara anak IPS mengabdikan diri dengan panas-panasan?
Dari Meulaboh Menuju Yogyakarta
Saya menyimpan “dendam kecil” pada sistem sekolah. Dendam yang membuat saya bertekad kuliah di luar Aceh.
Saya sadar peluangnya kecil. Latar belakang IPS ternyata hampir selalu dianggap sama di mana-mana. Karena itu saya memilih jurusan yang paling nggak populer kala itu: Sosiologi Agama.
Saya memilih UIN Sunan Kalijaga, di Yogyakarta. Waktu itu, kalau nggak salah, Sosiologi Agama akreditasinya masih C.
Saya nggak peduli. Yang penting jauh. Yang penting diterima. Yang penting bisa pulang ke kampung dengan sesuatu yang bisa dibanggakan.
Saat pengumuman SNMPTN, nama saya ditempel di depan kantor kepala sekolah. Dalam hati saya ingin berkata: lihat, anak IPS yang kalian anggap anak tiri itu bisa juga.
Belakangan, dua teman saya dari IPA justru berangkat ke Italia dan Mesir.
Di situ saya sadar, ya saya anak IPS. Haha.
Di kampung saya, hampir nggak ada yang benar-benar paham apa itu Sosiologi Agama. Orang tua saya mungkin mengira saya belajar sosiologi Islam. Wajar. Di sana agama hampir selalu berarti Islam.
Baru belakangan mereka sadar ada yang “aneh” dengan jurusan saya. Kami belajar hampir semua agama besar dunia. Bahkan Shinto di Jepang, yang sebelumnya sama sekali nggak saya kenal. Belum lagi penghayat kepercayaan.
Filsafat dan Prof. Dr. M. Amin Abdullah
Sebagai orang kampung yang tumbuh di lingkungan homogen, seharusnya saya kaget. Dan memang kaget.
Tapi saya beruntung punya dosen pembimbing akademik yang bukan manusia sembarangan: Prof. Dr. M. Amin Abdullah.
Dari beliau saya berkenalan dengan filsafat. Dengan literatur dunia. Dengan cara berpikir tentang agama, termasuk Islam, yang sama sekali baru buat saya.
Di tempat asal saya, filsafat bahkan sering dianggap sesuatu yang haram.
Efek dominonya panjang. Pandangan hidup saya berubah. Saya mulai sadar bahwa cara seseorang bertindak sangat ditentukan oleh cara ia berpikir.
Kesalahan tindakan sering kali berangkat dari cara berpikir yang sempit. Saya sempat bertengkar dengan keluarga besar. Bukan ayah dan ibu, tapi yang lain.
Saya pernah hampir “disyahadatkan ulang” karena dianggap sudah kafir dan berpikir menyimpang.
Belakangan saya sadar, dengan bekal ilmu yang masih sangat sedikit, saya terlalu lantang. Terlalu ingin benar.
Ada petitih yang baru benar-benar saya pahami setelah dewasa: jangan mengajari cara berjalan orang yang lebih dulu mengajari kamu berjalan.
Bukan soal benar atau salah, tapi soal adab. Setinggi apa pun ilmu, tanpa adab ia kehilangan makna.
Menulis Sebagai Kartu Joker
Kuliah dengan Program Studi Sosiologi Agama menyebabkan pertanyaan “nanti mau kerja di mana?” sering muncul di telinga.
Sistem pendidikan kita memang dibangun untuk mencetak tenaga kerja. Saya akrab dengan logika itu sejak bergabung di berbagai organisasi dan komunitas di Yogyakarta.
Sejak MI saya mengumpulkan batu di sungai demi uang jajan. MTs tinggal di panti asuhan yang kini sudah tutup. Di MAN bekerja serabutan: buruh bangunan, karyawan pasar, apa saja untuk menyambung hidup.
Saya juga sudah menulis sejak MTs. Di MAN, puisi-puisi saya sering diminta untuk dibacakan di radio. RRI Pro 2 Banda Aceh. Padahal saya tinggal di Meulaboh.
Sayangnya, semua puisi itu saya ketik di ponsel jadul yang cuma bisa SMS dan telepon. Kami menyebutnya HP tittut, tettot, mengikuti bunyinya ketika tombol dipencet.
Setelah mencicipi berbagai jenis pekerjaan, saya tahu fisik saya nggak kuat. Termasuk untuk bertani seperti sebagian keluarga saya. Pekerjaan yang nggak terlalu bergantung pada fisik buat saya hanyalah menulis.
Sehingga buat saya, menulis seperti kartu joker dalam permainan remi. Ia bisa menggantikan banyak hal.
Mungkin itu sebabnya guru saya, Andreas Harsono pernah bilang, kalau seseorang bisa menulis dengan baik, ia nggak akan kehilangan pekerjaan sampai mati.
Saya nggak melanjutkan karir sebagai sosiolog. Saya memilih berdiri di tempat yang lebih sepi.
Meskipun pendekatan sosiologis dan antropologis masih saya gunakan untuk melihat dunia. Ilmu sosial memang berbeda dengan ilmu alam.
Dalam matematika, dua tambah dua selalu empat. Dalam ilmu sosial, jawabannya bisa lima, bisa satu, tergantung konteks dan manusia yang terlibat.
Di lapangan, orang bisa bilang Mahéng ganteng hari ini, lalu menyangkalnya besok.
Dan itulah kehidupan. Dinamis, nggak rapi, nggak bisa diseragamkan. Mungkin itu sebabnya dulu anak IPS dianggap sulit diatur. Karena hidup memang nggak selalu bisa dipaksa menjadi dua tambah dua sama dengan empat.
Mungkin karena itu saya menulis. Dengan menulis, saya bisa mengawinkan ilmu sosial dan ilmu pengetahuan alam.
Saya memang bukan penulis terbaik. Tapi sejauh ini, menulis adalah cara terbaik buat saya untuk tetap tinggal di dunia tanpa harus berkompetisi untuk jadi yang terbaik.
Dulu saya ingin dia (eh, dunia) mengerti saya.
Sekarang, saya cukup menulis agar saya nggak salah mengerti dunia.




.jpg)
Leave a Comment