Tujuh Tahun, Tiga Penerbangan, dan Satu Gampong yang Berubah
Sudah sejak pagi buta saya di Bandar Udara Rahadi Oesman, Ketapang. Tidak tidur semalaman sebab takut kesiangan, padahal tubuh sudah minta istirahat.
Saya belum berani minta tolong Ayas bangunin, entah kenapa kalau alarm sampai meledak pun saya belum tentu bangun, tapi telpon dari Yang Mulia satu itu berbeda.
Di ruang tunggu yang pengap itu, kipas menggoyang udara tanpa hasil. Jaket yang saya kenakan terasa salah kostum.
Mas Huda GM kami bilang, "Tenang, Mahéng, cerah." Saya mengangguk, meski kepala terasa berat dan mata pedih.
Buat saya, penerbangan pertama selalu yang paling melelahkan. Apalagi kalau pagi buta sudah harus ke bandara. Mungkin karena tubuh belum sempat percaya bahwa ia akan berpindah begitu jauh.
Berganti cuaca, dan budaya. Tidak jarang saya sering drop jika pindah daerah terlalu sering, apalagi pindah pulau seperti ini.
Pagi itu 30 Oktober, saya hanya ingin segera sampai, di saat yang sama juga diam-diam takut bertemu hal-hal yang pernah saya tinggalkan tujuh tahun lalu.
Transit 1: Pontianak (Supadio)
Setelah lima puluh menit penerbangan, di Bandara Supadio, Pontianak, udara seperti menampar wajah: 32 derajat, matahari terasa menempel di kulit.
Saya duduk di kedai kopi bandara setelah makan di tempat cepat saji yang harganya bikin geli. Mungkin bukan karena mahal, tapi karena daya beli saya yang payah, kata teman sambil tertawa sehari sebelumnya. Untung Pak GM mentraktir.
Burung gereja masih beterbangan di ruang tunggu terminal 1, dan saya baru sadar betapa ruang tunggu itu masih sepi.
Transit 2: Soekarno-Hatta dan Ujian Kesabaran
Jam 11.39, akhirnya saya berada di dalam pesawat menuju Tangerang.
Setiap kali roda terangkat, saya merasa seperti membuka satu lapisan luka yang belum sempat sembuh. Mungkin karena setiap perjalanan selalu memanggil waktu yang belum selesai.
Ini bukan perjalanan pertama, tapi kesan yang tertinggal, terutama dengan orang-orang, selalu sulit saya lupakan.
Di dalam pesawat, saya menghabiskan waktu dengan tidur. Saya benar-benar tidak membuka obrolan untuk sok akrab dengan siapa pun. Hanya bersama diri sendiri, sesekali terlelap, lalu terbangun karena turbulensi.
Kalau saya tidak salah dengar, pilot bilang kami harus menunda pendaratan karena cuaca. Benar saja, pesawat kami tiba lebih lambat dari jadwal.
Saat mendarat, Bandara Soekarno-Hatta terasa penuh dan bising. Orang-orang tampak terburu-buru, sementara saya mencoba sabar menunggu giliran keluar.
Karena pesawat kami terlambat mendarat, saya harus berlari berpindah terminal. Cukup melelahkan, harus naik skytrain, lalu berjalan berkilo-kilometer menuju gate yang tertera di tiket.
Tidak ada yang baru sebenarnya, saya sudah menebak akan begini sejak masih di Pontianak. Yang berubah mungkin cuma kesabaran dan cuaca.
Gate di tiket dan di lapangan tidak sama. Dan ini juga sudah sering saya alami. Saya sempat bertanya pada petugas yang sibuk menatap layar ponselnya. Untuk memastikan apakah gate di tiket tidak ngeprank saya yang sudah kadung menahan kantuk.
Ia menjawab sekenanya, lalu saya memilih pergi tanpa sempat melihat wajahnya lagi.
Di antara kerumunan, seorang petugas cleaning service justru paling membantu. Meski servicenya bukan bagian informasi, tapi dengan sabar menunjukkan arah yang benar untuk bertanya pada yang lebih tepat.
Beberapa menit kemudian saya menemukan gate yang benar. Dari jauh mulai terdengar suara bahasa Aceh yang akrab di telinga.
Ada sekelompok penumpang yang bicara soal berbagai hal tentang Aceh. Saya tersenyum tanpa ikut bicara. Dalam keramaian itu, saya merasa seperti berdiri di ambang dua dunia, yang satu sibuk meninggalkan, yang satu menunggu untuk kembali diingat.
Penerbangan Terakhir: Mencari Dinding dan Langit
Pukul 15.10, saya sudah di dalam pesawat untuk penerbangan terakhir dari Tangerang ke Aceh, sekitar tiga jam perjalanan. Kursi saya sudah ditempati orang lain.
Sumpah, saya kesal.
Saya tidak sedang mencari masalah, hanya ingin duduk di sisi jendela. Bukan untuk foto awan, tapi karena saya selalu butuh dinding untuk bersandar dan langit untuk diam.
Mungkin dulu saya juga seperti mereka, berebut jendela demi bisa merekam awan.
Sekarang saya cuma ingin tidur dan melupakan bahwa setiap perjalanan pulang adalah semacam ujian kecil, tentang sabar, tentang waktu, tentang hal-hal yang tidak bisa diulang.
Tiba di Aceh: Antara Masa Lalu dan Perubahan
Pukul 18.09, roda pesawat menyentuh landasan Bandar Udara Sultan Iskandar Muda. Dari jendela saya melihat langit senja yang lembap, seperti menyimpan sesuatu yang tak ingin diungkap.
Setiap dentum roda di aspal itu terasa seperti mengetuk pintu masa lalu. Saat pertama kali saya meninggalkan bandara ini sebelas tahun yang lalu.
Saya tiba di Banda Aceh menjelang magrib. Travel berjanji menjemput setelah salat, tapi waktu terus bergerak dan ia belum datang juga.
Waktu seperti membeku di parkiran bandara. Lampu jalan menyala satu per satu, suara azan menjauh, dan saya menunggu di area merokok tak jauh dari pintu kedatangan.
Bukan karena saya merokok—saya sudah lama berhenti—hanya ingin menghindari tawaran ojek, taksi, dan rasa malas menjelaskan apa pun di tengah lelah yang belum reda.
Pukul 19.32, mobil travel akhirnya tiba. Kami baru berangkat jam sembilan.
Perjalanan Malam Menuju Meulaboh
Perjalanan ke Meulaboh menembus gelap sepanjang empat jam. Orang-orang berbicara dalam bahasa Aceh, termasuk sopir. Kecuali dengan saya, ia berusaha berbicara dalam bahasa Indonesia.
Mungkin dari logat dan wajah saya, ia tidak yakin saya orang Aceh. Dan ini sudah sering saya alami.
Saya tertidur sebentar, lalu terbangun ketika mobil berhenti di depan warung makan di pinggir jalan di daerah Patek.
Saya mencoba menguyah, namun hambar, karena campuran kantuk, lelah, setiap suapan tidak sepenuhnya saya nikmati. Dan mungkin faktor rasa yang sudah kurang familiar di lidah saya.
Paya Baro: Garis Akhir dan Ironi Kemajuan
Sekitar pukul dua dini hari, saya tiba di Meulaboh tepatnya di Suak Raya. Di sana, paman sudah menunggu dengan mobil tuanya.
Kami berangkat ke Paya Baro. Perjalanan terakhir ini, satu setengah jam melawan kantuk, dingin, dan jalan hancur terasa seperti napas terakhir sebelum sampai.
Di sepanjang jalan, kami mengobrol berbagai hal, sampai paman bilang sambil terus membakar rokok, tidur saja.
Saya bisa merasakan perubahan jalan ini meski dalam kegelapan. Perubahan posisi rumah, bangunan yang bertambah, dan hutan yang mulai punah.
Dulu saya kabur dari kampung karena ingin maju. Sekarang kampung saya sudah maju, saya justru ingin kabur.
Pukul 03.39, kami sampai di Paya Baro. Keluarga saya menginap di rumah saudara karena rumah kami dibongkar untuk dibangun ulang. Ayah membuka pintu setelah salat malam, ibu saya datang memeluk dan mencium, seketika semua lelah rontok begitu saja.
Keponakan saya menangis karena dibangunkan. Anak dari adik kandung pertama saya.
Setelah ngobrol dan mandi sebentar, saya masuk kamar untuk tidur hingga ia datang meuutek, menanyakan berbagai hal.
Saya tetap menjawab dengan lembut, sebab saya sadar, saat saya dulu berangkat, ibunya bahkan belum menikah. Sampai akhirnya dia sendiri diam melihat saya tertidur.
Di Paya Baro, banyak hal yang berubah. Keluarga saya bertambah, rumah dibangun ulang. Saya juga mendengar banyak kabar yang membuat saya terdiam.
Ada yang bilang, semakin maju gampong, makin sering penyakit datang, makin sering pula huru-hara.
Penyakit muncul dari makanan yang tumbuhannya dipupuk berlebihan. Tatanan sosial rusak, sungai hancur karena emas ditambang.
Ironisnya, yang menambang justru banyak dari negeri seberang, sementara orang lokal—termasuk beberapa saudara saya—dianggap ilegal dan kini dipenjara.
Dari Ketapang ke Pontianak, Tangerang, lalu Banda Aceh. Tujuh tahun di perantauan terasa seperti tujuh lapisan waktu yang terlipat di punggung.
Setiap penerbangan memang membuka luka lama. Tapi mungkin juga setiap luka hanyalah tanda bahwa kita masih bisa merasakan pulang, meski tak tahu lagi di mana rumahnya berada.
Setelah sejauh ini, saya baru sadar, yang paling sulit dari perjalanan pulang bukan jaraknya, tapi menerima bahwa rumah pun bisa berubah tanpa kita.


Komentar
Posting Komentar