Curug Nangka dan Harga Sebuah Keotentikan: Ironi Petualangan yang Sudah Dikemas Rapi

Saya tidak berniat menemukan apa pun di Curug Nangka pagi itu.

Saya hanya ingin berjalan sebentar di jalur yang masih basah sisa hujan. Tapi perjalanan pendek itu justru membuka hal-hal yang selama ini saya abaikan tentang bagaimana alam perlahan berubah menjadi komoditas yang dipaketkan.

Pagi 16 November 2025, jalur menuju Curug Nangka di Sukajadi, Tamansari, Bogor, basah oleh sisa hujan.

Daun jatuh menempel di permukaan batu licin, dan udara membawa aroma tanah yang diguyur semalaman.

Jalur 700 meter yang tertulis di papan informasi terasa lebih panjang daripada angka yang tertera. Setiap tanjakan kecil memaksa kaki bekerja lebih keras.

Di kaki Gunung Salak, 750 meter di atas permukaan laut, curug ini berdiri dengan tenang.

Tingginya 25 meter, tidak menjulang, namun cukup untuk membuat gemuruh airnya memantul ke dinding hutan.

Curug Nangka hanya beberapa ratus meter dari kantor IAR Bogor, membuatnya seperti undangan rutin bagi siapa pun yang tinggal dan bekerja di sekitar Sukajadi, termasuk saya.

Kedekatan itu yang awalnya terasa wajar justru memunculkan pertanyaan lain. Ada yang terasa terlalu rapi dari pengalaman yang disebut wisata alam.

Pelan-pelan saya mulai melihat bahwa alam yang dijinakkan lewat sistem pariwisata memang memberi kenyamanan, tetapi juga mengambil sesuatu yang lebih penting yaitu keaslian yang hanya muncul dari ketidakpastian.

Cerita dan Komodifikasi Alam

Pohon Nangka yang Tidak Pernah Habis Buahnya

Orang tua di desa Sukajadi punya cerita tentang asal nama curug ini.

Katanya dulu ada pohon nangka besar tumbuh di dekat air terjun.

Pohonnya rindang, buahnya selalu penuh, dan yang paling ajaib, buah itu tidak pernah habis.

Dipetik hari ini, besok tetap ada.

Lama-lama pohon itu dianggap punya kekuatan mistis, simbol keberuntungan yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Pohon itu sudah lama menghilang. Yang tersisa hanya nama dan cerita yang masih punya daya pikatnya sendiri.

Tiket Masuk: Siapa yang Membayar Lebih?

Sebelum sampai ke curug, pengunjung melewati loket kecil.

Warga lokal membayar lebih murah, wisatawan asing membayar lebih mahal.

Kebijakan ini sudah berjalan di hampir semua kawasan wisata di Indonesia. Alasannya sederhana. Warga lokal dianggap sudah membayar pajak, sementara turis asing punya daya beli yang lebih tinggi. Tarif wisata dunia juga berhitung demikian.

Tetap saja pertanyaan itu muncul setiap kali melihat dua angka berbeda di papan harga: apakah ini adil atau hanya bentuk lain dari diskriminasi yang diberi pembenaran ekonomi?

Canyoning: Petualangan yang Dikemas dan Dijual

Salah satu aktivitas yang paling digemari di Curug Nangka adalah canyoning.

Rappelling, melompat dari ketinggian, dan berenang di bawah derasnya air terjun menjadi paket petualangan yang dijual sebagai pengalaman lengkap.

Mahéng mengamati wisatawan canyoning yang mengikuti instruksi petugas di Curug Nangka, sebuah contoh petualangan yang terformat dan aman.

Saat kami menikmati air terjun dan melihat seorang pengunjung berfoto sambil canyoning, Nike tiba-tiba berkomentar sambil tersenyum lelah.

Gayanya di-provide semua. Berarti gaya petualangan setiap orang bisa sama persis.

Saya mengangguk. Ada ironi di balik kalimat itu.

Petualangan yang seharusnya penuh risiko dan spontanitas berubah menjadi aktivitas yang aman dan diformat.

Kita membeli sesuatu yang diberi label petualangan, padahal semuanya sudah tertata, diawasi, distandarisasi. Kita membeli risiko yang aman.

Kementerian Pariwisata bahkan punya standar khusus untuk usaha wisata petualangan.

Pertanyaannya kemudian: apakah petualangan yang sudah dikemas rapi masih bisa disebut petualangan?

Pokpohan dan Nyeruit: Keaslian yang Jarang di Kota

Di warung kecil dekat pintu masuk, ada sepiring daun pokpohan hijau segar dengan bulu halus, berikut sambal. Nike mengambil selembar daun pokpohan, menggulungnya perlahan di antara jari menyerupai gulungan daun sirih. 

Ia mencicipinya, lalu tanpa basa-basi, ia menghabiskan sisa daun pokpohan di piring itu seorang diri. Air mukanya tampak senang, seakan menemukan harta karun yang selama ini ditolak oleh kota.

Saya bergurau. "Susah ajak orang kota ke desa."

Pokpohan sudah lama jadi lalapan masyarakat Sunda.

Rasanya segar, sedikit mint, dan tumbuh liar di lereng gunung. Dulu digunakan untuk mengobati luka bakar, dan mengandung kalsium tinggi.

Yang paling menarik, ia tumbuh tanpa dikemas, tanpa dibudidaya, tanpa dikomodifikasi.

Nike kemudian bercerita tentang tradisi Nyeruit di kampungnya.

Ia bilang rasa pokpohan mengingatkannya pada salah satu lalapan dalam tradisi itu. Ada keaslian yang dibiarkan apa adanya, sesuatu yang jarang ditemui di kota.

Harga Sebuah Ketidakpastian

Apa yang Sebenarnya Kita Bayar?

Curug Nangka bukan hanya soal air terjun 25 meter.

Bukan hanya soal nama yang diwariskan dari pohon nangka ajaib. Bukan juga soal perbedaan harga tiket atau paket canyoning yang diformat seperti aktivitas di katalog.

Semua itu bicara tentang harga yang kita bayar untuk sesuatu yang terasa aman. Sesuatu yang rapi. Sesuatu yang dapat diprediksi.

Pokpohan yang tumbuh liar mengingatkan saya bahwa tidak semua hal perlu distandarisasi agar bisa dinikmati.

Beberapa hal justru terasa lebih jujur ketika kita biarkan apa adanya.

Ketika berjalan pulang, jalur licin membuat langkah lebih hati-hati. Tapi di situlah letak petualangan yang sebenarnya.

Tidak ada risiko yang sudah dihitungkan orang lain. Ketidakpastian yang kecil itu membuat perjalanan terasa hidup.

Pada akhirnya saya mengerti satu hal. Harga yang kita bayar hari ini, termasuk paket canyoning yang rapi, adalah harga untuk menjinakkan ketidakpastian.

Jalur menuju Curug Nangka mengingatkan saya bahwa hidup yang terlalu rapi justru kehilangan "udara" segarnya.

Ketidakpastian mungkin tidak pernah nyaman. Namun ia memberi rasa yang tidak bisa dibeli dengan tiket mana pun.

Dan itu mungkin satu-satunya hal yang tidak pernah punya versi paket wisata.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.