Belajar Cara Roboh: Catatan Sunyi dari Rumah Adat Kyai Mangku Negeri

Ada tempat-tempat yang namanya begitu agung, tapi perlakuannya bicara sebaliknya. 

Saya mengunjungi Rumah Adat Melayu Kyai Mangku Negeri tanpa rencana, hanya untuk berakhir di sebuah toilet tanpa air di samping kandang kuda.

Tempat ini juga dikenal sebagai Rumah Morkes, karena dulu milik mendiang Morkes Effendi, mantan Bupati Ketapang.

Saya nggak sedang ingin melihat rumah adat, apalagi menulis tentangnya. Saya cuma diajak ngopi oleh Olil, teman saya warga Ketapang. 

Awalnya saya pikir kami bakal ngopi biasa saja, sebab ia mau kembali ke Pontianak untuk lanjut nyelesaiin kuliah.

Lalu, entah bagaimana, rencana ngopi itu berpindah tempat ke rumah adat Melayu di Kepala Pulau. Saya mengiyakan saja. Nggak ada ekspektasi apa pun. Asal dijemput di Sungai Awan. 

Mungkin karena saya sudah terlalu sering berpindah-pindah tempat, keliling Indonesia membuat saya terbiasa "melihat" rumah adat dalam berbagai rupa.

Budaya Melayu, buat saya yang berasal dari Aceh, juga bukan sesuatu yang terasa asing. Ada kedekatan, ada kemiripan, ada irisan yang membuat saya berpikir: ya, mungkin kurang lebih nggak jauh beda.

Saya datang sebagai orang biasa. Nggak bawa embel-embel peneliti apalagi peziarah budaya. Saya memang bukan siapa-siapa. Dan mungkin justru karena itu, apa yang saya lihat terasa masuk ke tubuh, bukan ke kepala.

Realitas di Balik Kayu Belian

Sesampainya di sana, hal pertama yang saya rasakan bukan kagum atau haru, tapi kebelet pipis.

Saya bertanya ke Olil dan ke tukang parkir di mana toilet. Mereka menunjuk ke arah yang sama: “Di sana, belok kiri.”

Saya mengikuti arah itu. Toiletnya berada di bawah rumah adat, di samping kandang kuda. Air nggak ada. Bau pesing menyatu dengan bau kuda dan lumpur. Saya berdiri sebentar, mencoba memahami situasi.

Saya nggak tahu apakah memelihara kuda di bawah rumah adat memang bagian dari tradisi atau bukan. Saya juga nggak ingin sok paham. Tapi yang saya tahu, kondisi itu nggak layak. 

Bukan hanya untuk tamu, tapi untuk kuda sekali pun.

Dilihat secara fisik, Rumah Adat Melayu Ketapang ini megah. 

Terdiri dari tiga bangunan utama: bangunan induk berukuran sekitar 20x30 meter, Balai Rung Sari berukuran sekitar 9x15 meter, dan Balai Peranginan berukuran sekitar 6x30 meter.

Semuanya berdiri di atas tanah seluas dua hektar dengan bahan baku utama kayu ulin. Orang Ketapang menyebutnya kayu belian.

Saya keluar dari toilet dengan perasaan risih yang nggak bisa saya jelaskan ke Olil tanpa terdengar berlebihan. 

Di sekitar rumah adat, sampah berserakan. Di Sungai Pawan, di Dermaga Mangkunegeri, di sisi-sisi tempat muda-mudi nongkrong. Botol minuman plastik, bungkus makanan, sisa-sisa kehadiran manusia yang datang dan pergi.

Plang nama Dermaga Mangkunegeri di tepi Sungai Pawan, Ketapang, yang menjadi bagian dari kompleks Rumah Adat Melayu Kyai Mangku Negeri di Ketapang

Sampah itu nggak terlihat seperti sisa acara besar. Ia tampak biasa. Seperti memang sudah menjadi bagian dari pemandangan.

Yang Terlihat, Lalu Terlewat

Saya dan Olil duduk agak lama di sana. Melihat sungai, melihat rumah adat, melihat dermaga yang sebagian kayunya mulai turun ke air. 

Saya mencoba menyusun perasaan saya sendiri. Bukan marah. Nggak kecewa yang meledak-ledak. Lebih ke perasaan nggak nyaman, seperti duduk di kursi yang sedikit goyah.

Di tempat itu juga ada kucing. Bulunya kusam. Ada luka koreng di kepalanya. Ia berjalan mendekat, meminta makan. Entah kenapa, hampir di mana pun saya nongkrong, selalu ada kucing yang datang.

Saya nggak romantis soal ini, tapi melihat kucing yang terluka di ruang yang seharusnya dijaga, rasanya menambah satu lagi lapis keganjilan. Semuanya seperti dibiarkan.

Di kepala saya, rumah adat selalu dipahami sebagai manifestasi dari tempat tinggal adat. Kalau adat itu ibarat manusia, ya rumah adat adalah rumahnya. Ia bukan sekadar bangunan simbolik. Ia adalah representasi cara hidup, cara merawat, cara berada bersama.

Kalau rumah adat adalah tempat tinggal adat, maka ketika rumah itu rusak, nggak kerawat, dan dibiarkan begitu saja, saya jadi bertanya: apakah adatnya sudah pergi dari rumah itu? Atau justru adat itu sendiri yang sudah rusak?

Saya nggak ingin memaksakan kesimpulan. 

Saya sudah terlalu sering bertemu kenyataan yang nggak sesuai dengan ekspektasi. Ekspektasi sering membuat saya tergesa-gesa menilai, sebab itu saya nggak ingin datang sebagai orang yang merasa tahu segalanya.

Sebagai Tamu yang Datang Sebentar

Saya bisa saja menyalahkan muda-mudi yang nongkrong dan meninggalkan sampah. Tapi saya menahan diri. Saya nggak tahu bagaimana mereka dibesarkan. Saya nggak tahu apa yang mereka lihat setiap hari. 

Mungkin saja mereka nggak peduli karena nggak pernah diajari untuk peduli. Menyalahkan sering kali terasa paling mudah, tapi juga paling malas. Ia menutup pintu untuk memahami.

Saya memperhatikan atap rumah adat di beberapa bagian yang mulai copot. Dermaga yang kayunya miring dan sebagian terendam ke sungai. 

Semua itu terlihat seperti bangunan yang pelan-pelan menyerah, bukan karena usia semata, tapi karena ditinggalkan.

Di kepala saya sempat muncul pikiran yang nggak enak: kalau suatu hari ada yang celaka di sini, apakah baru akan ada yang peduli? Apakah perhatian selalu harus didahului oleh bencana? 

Saya langsung merasa bersalah memikirkan itu. Tapi pikiran itu sudah terlanjur lewat.

Di situ saya sadar, saya hanyalah tamu. Saksi singkat. Orang yang datang sebentar lalu pergi. Nggak punya kuasa, nggak punya wewenang. 

Dan menulis mungkin satu-satunya yang saya bisa, selain membereskan sampah makanan dan minuman saya sendiri.

Kami meninggalkan tempat itu setelah gelap. Nyamuk mulai banyak. Sungai terlihat lebih hitam.

Rumah Adat Melayu Kyai Mangku Negeri masih berdiri diam, seperti menunggu sesuatu yang nggak jelas kapan datangnya. 

Salah satu bangunan megah Rumah Adat Melayu Kyai Mangku Negeri di Ketapang yang dibangun menggunakan kayu belian. Foto: Dokumentasi Mahéng

Saya pulang nggak bawa solusi, cuma sebuah ingatan tentang kucing korengan dan toilet tanpa air di bawah bangunan megah berkayu belian.

Saya baru sadar, mungkin cara tercepat membunuh sebuah kebudayaan bukanlah dengan membakar rumah adatnya, melainkan dengan membiarkannya tetap berdiri, tapi nggak ada lagi yang merasa perlu merawat dan peduli.

Dan malam itu, Rumah Adat Melayu Kyai Mangku Negeri Ketapang nggak sedang menunggu tamu. 

Ia berdiri diam, seperti sedang belajar cara roboh tanpa ada yang benar-benar merasa kehilangan.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.