Menjadi Manusia Benar dan Benar-Benar Menjadi Manusia: Refleksi di GUSDURian Jogja

Mendengar adalah pekerjaan termudah yang paling sulit dilakukan.

Saya pernah merasa jadi pendengar yang baik, sampai saya sadar bahwa selama ini saya hanya mendengar untuk menimpali, bukan untuk memahami.

Sebelum mengenal Komunitas GUSDURian Jogja, nama Gus Dur sebenarnya nggak asing buat saya.

Selain sebagai Presiden ke-4 Republik Indonesia, dosen penasihat akademik saya, Prof. Dr. M. Amin Abdullah, sering menyebut Gus Dur dalam konteks pluralisme dan lintas iman saat mengajar.

Secara gagasan, pikiran saya merasa sudah cukup terbuka. Tapi ternyata, keterbukaan pikiran nggak otomatis membuat saya sepenuhnya paham praktik toleransi.

Saya ingat pengalaman pertama datang ke Jogja. Orang yang menyambut saya di rumahnya memasang salib. Saya nggak tahu ia Kristen atau Katolik—karena kala itu buat saya nggak ada bedanya.

Ia dengan santai menunjukkan masjid terdekat dan arah kiblat agar saya bisa salat.

Saat itu saya hanya menganggapnya sebagai keramahan biasa. Baru belakangan saya sadar, itulah praktik hidup berdampingan yang sering kita perdebatkan tanpa pernah benar-benar kita jalani.

Sebuah laku yang belakangan baru diberi nama toleransi.

Pertemuan di Pendopo Griya GUSDURian

Saya baru sungguh-sungguh memahami hal itu justru setelah bertemu Komunitas GUSDURian Jogja pada 28 Juli 2023.

Awalnya saya hanya datang untuk acara Peluncuran dan Diskusi Buku Menyiasati Sesat Pikir karya Rika Iffati Farihah. Tapi sejak menginjakkan kaki di pendopo Griya GUSDURian, ada perasaan tenang yang sulit dijelaskan.

Saya disambut oleh Hamada Hafidzu. Kami mengobrol. Saya bicara, dan yang paling penting, saya didengarkan. Nggak dimanipulasi, nggak diarahkan untuk setuju.

Gus Dur sendiri adalah tokoh besar yang, mungkin, nggak selalu disukai di lingkungan keluarga saya di Aceh.

Namun, setelah menyelami pemikirannya, saya mulai mengerti kenapa beliau sering mengambil keputusan yang membingungkan banyak orang.

Beliau mendengar. Dan mendengar, ternyata, adalah pekerjaan yang mudah diucapkan tetapi sangat sulit dikerjakan. Sering kali kita merasa sudah menyimak, padahal kita hanya sedang menunggu giliran bicara.

Di komunitas ini, saya perlahan belajar bahwa sudut pandang nggak bisa ditentukan sebelum proses mendengar benar-benar selesai.

Saya lantas mengikuti Kelas Pemikiran Gus Dur (KPG) pada 27–29 Oktober 2023.

Ruang Aman untuk Patah Hati

Lama setelah itu, saya mulai menulis di Gusdurian.net dan belakangan dipercaya menjadi redaktur. Meski peran saya nggak seberapa berguna, pengalaman ini berbeda dari media lain.

Di sini, saya berlatih adab berpikir: merekam perjumpaan lintas iman bukan sebagai sensasi, lebih sebagai kenyataan hidup sehari-hari.

Komunitas GUSDURian Jogja akhirnya menjadi ruang aman yang sangat personal buat saya. Saya bebas bicara, bebas ragu, bahkan bebas menangis.

Saat saya patah hati karena ditinggal menikah, komunitas ini menjadi tempat saya "mengungsi" dan menangis berhari-hari tanpa sekalipun dihakimi dengan kalimat, “laki-laki kok cengeng.”

Dari ruang aman yang personal itulah, saya mulai melihat urgensi nilai-nilai Gus Dur buat ruang publik kita.

Indonesia hari ini sedang sangat membutuhkan cara berpikir yang manusiawi, bukan militeristik; cara berpikir yang merangkul perbedaan, bukan membubarkan diskusi buku.

Kita lebih sibuk "menjadi benar" daripada tetap menjadi manusia.

Belajar Menjadi Manusia

Di Komunitas GUSDURian Jogja, saya melihat orang-orang pulang membawa teman lintas iman dan ribuan perspektif baru. Buat saya, pengalaman semacam ini jauh lebih berharga daripada sekadar debat tentang iman yang nggak ada ujungnya.

Jika kamu juga sedang mencari ruang aman atau ingin belajar cara mendengar yang lebih tulus, Kelas Penggerak GUSDURian (KPG) bisa jadi pintu masuk

Pendaftarannya masih dibuka sampai 31 Desember 2025.

Bergabung dengan komunitas ini membuat hidup saya lebih terarah. Bukan karena semua mendadak jadi jelas, tapi karena saya punya sudut pandang alternatif.

Saya belajar bahwa merasa paling benar mungkin nggak selalu membuat kita jadi manusia. 

Sebaliknya, menjadi manusia justru menuntut keberanian untuk ragu, kesediaan untuk mendengar, dan ketulusan untuk tetap berempati kepada mereka yang berbeda religi.

Hari ini, hubungan saya dengan Komunitas GUSDURian Jogja sudah seperti keluarga.

Mahéng saat menjadi model dadakan untuk GUSDURian Store, sebuah potret yang diambil oleh Atika di Griya GUSDURian Jogja.
Foto: Atika / GUSDURian Store

Ini mungkin pembelaan dari saya yang sering menumpang makan, menumpang belajar, hingga sesekali jadi model t-shirt GUSDURian Store dadakan—meskipun muka saya mungkin lebih cocok jadi penyebab utama kenapa debt collector berhenti kerja karena nggak tega melihat nasib saya yang lebih menderita dari mereka.

Pada akhirnya, pelajaran terpenting yang saya jemput di Komunitas GUSDURian Jogja bukan tentang bagaimana menjadi manusia yang paling benar, tapi tentang bagaimana untuk benar-benar menjadi manusia.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.