Stasiun Riset Way Rilau, Batutegi: Di Antara Tekanan Alam dan Manusia

Saya datang ke Way Rilau dengan niat menyimpan yang indah. Saya pulang dengan kesadaran bahwa tidak semua yang indah mau menunggu saya untuk disimpan. 

Kamis, 4 Desember, saya datang ke Stasiun Riset Way Rilau tanpa ekspektasi visual yang muluk-muluk.

Stasiun Riset Way Rilau: Ruang Kerja yang Sunyi

Stasiun riset ini adalah basecamp YIARI di site program Hutan Lindung Batutegi. Ia dibangun sejak 2008. Mulanya bernama Pos Pemantauan Hutan dalam bentuk yang sangat sederhana, lalu diperbarui agar lebih layak pada 2022. 

Mahéng dan teman-teman berpose di depan Stasiun Riset Way Rilau, basecamp YIARI di Hutan Lindung Batutegi, Lampung

Untuk sampai ke sini, kami harus menempuh perjalanan dengan perahu sekitar satu jam dari Talang Dua Puluh di Sungai Sangarus. 

Setelah itu, perjalanan dilanjutkan menyusuri aliran Way Rilau sejauh kurang lebih satu setengah kilometer, melewati bukit curam, hutan yang rapat, dengan suara serangga yang tidak putus. Justru di tempat semacam inilah logika alam sering bekerja dengan paling jujur.

Tidak dipoles. Tidak menawarkan panorama besar. Hanya hadir apa adanya. 

Bang Ari, warga lokal yang biasa bertugas mengantar logistik untuk para penjaga stasiun riset, hari itu sekaligus menjadi nahkoda perahu kami. Ia melangkah cepat. Selain karena hujan, ia sudah lincah dan paham medan.

Saya, yang berjalan lebih lambat, sempat membela diri, “Kalau alam lagi indah, sebaiknya langsung didokumentasikan. Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.” 

Kalimat itu terdengar seperti petuah yang nyerocos saja dari mulut saya. Saat itu belum terasa urgensinya. Belakangan baru terasa sebagai isyarat.

Sungai Way Rilau terlihat jernih di dekat Stasiun Riset YIARI, momen yang didokumentasikan Mahéng sebelum air sungai berubah warna.

Di Sungai Way Rilau, saat kami berangkat, air masih jernih. Beningnya bukan seperti di brosur wisata. Bersih dalam pengertian yang lebih sederhana. Bebatuan di dasar terlihat, sinar matahari memantul tanpa banyak bicara. 

Tidak ada kesan dramatis. Justru ketenangan itulah yang membuat tempat ini terasa manis.

Kejernihan yang Lahir dari Kewaspadaan Panjang

Stasiun Riset Way Rilau tidak menawarkan sensasi liburan. Ia adalah ruang kerja yang sunyi. Ada bangunan dari kayu sengon, papan informasi dengan salah ketik di satu dua kata yang tetap bisa dipahami. 

Di sini, alam tidak sedang dipamerkan. Ia sedang dipelajari. Dihitung. Dicatat. Dijaga melalui rutinitas yang jarang masuk ke bingkai kamera.

Dari gerak tubuh para penjaga hutan dan peneliti, saya melihat mereka bekerja tanpa banyak bicara, apalagi jargon yang meninggi. 

Mereka patroli, mencatat, menandai, lalu kembali. Tidak ada pose heroik. Tidak ada narasi besar. Yang ada hanya pekerjaan yang harus diselesaikan agar sesuatu yang rapuh bisa bertahan sedikit lebih lama, dengan canda yang sesekali menyelinap di sela tugas.

Saya datang sebagai orang luar dengan hasrat yang berbeda. Saya membawa rasa ingin tahu dan keinginan untuk memahami. 

Seperti banyak pengunjung lain, saya juga membawa beban romantisasi. 

Saya ingin melihat yang hijau, yang jernih, yang utuh. Padahal di balik semua itu, hutan bekerja dengan hukum yang jauh lebih keras daripada perasaan pengunjungnya.

Air di sekitar stasiun riset siang itu nyaris seperti kaca yang digerakkan angin. Saya menikmatinya tidak terlalu lama, seperti tamu yang sadar sedang berkunjung ke ruang yang bukan miliknya. Di kepala saya, kalimat tentang “mendokumentasikan keindahan” kembali terngiang, meski belum terasa mendesak.

Yang membuat saya terpana bukan hanya kejernihan airnya, tetapi kesadaran bahwa kejernihan semacam ini tidak lahir dari ketiadaan ancaman. 

Ia datang dari kewaspadaan yang panjang. Dari patroli yang berulang. Dari larangan yang sering diabaikan. Dari konflik yang tidak selalu muncul ke permukaan. Dari upaya memulihkan sesuatu yang terus-menerus ditarik oleh keserakahan.

Saya berdiri di antara dua dunia yang sama-sama tampak tenang. Di depan, hutan terlihat seperti sesuatu yang abadi. Di baliknya, ada jejak pembalakan, konflik lahan, tekanan ekonomi, dan kebutuhan hidup yang tidak bisa disederhanakan menjadi slogan “jaga alam”. 

Pada titik itu saya sempat berpikir bahwa alam, dengan caranya sendiri, mungkin selalu punya kemampuan untuk bertahan, terlepas dari keberadaan manusia. 

Saya melihat sendiri di beberapa titik bekas longsor, rumput tumbuh seperti perban yang menutupi luka.

Perubahan Tanpa Aba-aba: Ketika Air Jernih Berubah Keruh

Perjalanan kami tidak lama. Stasiun Riset Way Rilau bukan tempat untuk berlama-lama. Paling tidak buat saya.

Di perjalanan pulang, perubahan datang tanpa aba-aba. Tidak ada hujan besar. Tidak ada suara gemuruh. Air yang tadi bening telah berubah keruh. Warna kecokelatan itu hadir tanpa ingin mengagetkan siapa pun, tetapi cukup untuk mengubah seluruh kesan yang baru saja saya simpan. 

Saya tidak tahu pasti penyebabnya. Bisa jadi hujan di hulu. Bisa pula pergerakan tanah di titik lain. Atau aktivitas yang tidak kami lihat. Alam jarang memberi penjelasan lengkap dan tepat waktu. Yang ia beri hanya perubahan, dan kita diminta membaca maknanya sendiri.

Dalam kepala saya, Stasiun Riset Way Rilau tidak lagi sekadar stasiun riset. Ia berubah menjadi penanda waktu. Bahwa yang jernih siang hari belum tentu jernih sore nanti. Bahwa yang tampak utuh dari dekat, di kejauhan mungkin sedang retak.

Saya teringat banyak tempat lain yang pernah saya datangi dengan gejala serupa. Sungai di kampung saya yang dulu bisa diminum airnya, kini hanya bisa dipotret dari jauh. 

Perubahan hampir selalu datang bertahap. Tidak pernah sekaligus. Dan justru karena itu, sering dianggap tidak mengancam sampai kita menoleh ke belakang dan menyadari bahwa sesuatu telah hilang.

Mungkin kita baru sadar ketika sesuatu terjadi yang sering kita sebut bencana.

Keindahan Tidak Pernah Aman

Way Rilau mengajarkan saya bahwa keindahan tidak pernah benar-benar aman. Ia selalu berada di antara dua keadaan, masih ada dan hampir tiada. 

Kita sering mengira kerusakan datang dalam rupa besar dan mudah dikenali. Padahal lebih sering ia hadir sebagai pergeseran kecil yang dianggap wajar.

Di atas perahu, dalam perjalanan pulang, saya memandang hutan dari sisi yang berbeda. Ia bukan lagi sekadar latar hijau, melainkan sebuah sistem yang terus-menahan tekanan. 

Setiap batang pohon bukan hanya batang, tetapi keputusan yang belum diambil untuk ditebang. Setiap aliran air bukan sekadar aliran, melainkan hasil dari puluhan proses yang jarang kita hiraukan.

Saya memikirkan kembali posisi saya sebagai pengunjung. Saya datang membawa niat baik, rasa ingin tahu, lensa, dan catatan. Namun tetap saja saya bagian dari arus besar manusia yang hidup dari dan di sekitar alam. 

Dokumentasi, yang semula saya anggap sebagai kebiasaan personal, perlahan terasa sebagai tindakan dengan makna lain. Ia bukan hanya cara menyimpan keindahan, tetapi pernyataan bahwa sesuatu pernah ada dalam bentuk yang lebih "baik." 

Bahwa sebelum air itu keruh, ia pernah jernih. Sebelum hutan itu terpotong, ia pernah rapat.

Namun dokumentasi juga punya batas. Ia tidak menghentikan perubahan. Ia hanya mengubah bentuk ingatan kita tentang semesta. Alam tetap bergerak dengan hukum dan caranya sendiri, sementara kita sibuk menyimpan bukti bahwa kita pernah mencintainya dengan penuh percaya diri.

Yang tersisa buat saya setelah pulang dari Stasiun Riset Way Rilau bukan hanya foto air yang jernih, melainkan perasaan yang sulit dijelaskan. 

Perasaan bahwa segala sesuatu bisa berubah tanpa memberi kesempatan kita untuk bersiap secara emosional. Bahwa yang kita kira stabil sesungguhnya sedang bertahan dengan tenaga yang tidak kita lihat. 

Saya tidak lagi pulang dengan jawaban tentang bagaimana seharusnya manusia memperlakukan alam. Saya juga tidak membawa solusi besar untuk disematkan di akhir tulisan. 

Yang saya bawa hanya satu kepastian: setiap kejernihan adalah hasil dari kerja panjang, dan setiap kekeruhan adalah hasil dari akumulasi yang tidak pernah datang tanpa alasan.

Yang saya bawa pulang bukan lagi sekadar foto, tetapi juga kewaspadaan bahwa yang hari ini jernih, bisa jadi sedang diam-diam belajar untuk beralih. 

Dan barangkali termasuk kejernihan hati manusia.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.