Compok Cellep dan Andreas Harsono yang Membentuk Saya Jadi Penulis
Pada akhirnya, setelah sekian tahun, saya menemuinya di Citra Maja Raya, Lebak, di sebuah rumah yang disebut Compok Cellep. Diberi nama oleh Sapariah Saturi, dari bahasa Madura, artinya “rumah sejuk.”
Hari itu 22 November, akhir pekan, dan Compok Cellep ramai.
Para penulis, termasuk Iksaka Banu dan Kurnia Effendi penulis Pangeran Dari Timur, aktivis, dan pencari ilmu datang bergantian, setiap orang membawa alasan sendiri untuk berada di sana.
Di tengah keramaian itu, saya kembali berhadapan dengan seorang guru. Mungkin ia bukan satu-satunya, tetapi fondasi yang menopang banyak keputusan saya sebagai penulis: Andreas Harsono.
Saya memanggilnya Om. Tapi kalian tidak perlu menirunya, karena itu hanya love language saya secara eksklusif, heheh.
Ini benar, sebab ia pernah tidak nyaman dipanggil “Om,” terutama oleh perempuan.
Dulu sekali, ia pernah bilang sesuatu yang bunyinya kira-kira seperti ini: “Kalau kamu bisa menulis dengan baik, kamu tidak akan pernah kehilangan pekerjaan sampai mati.”
Saya menyimpan kalimat itu lama, meski dulu saya memahaminya secara sederhana. Menulis bagus berarti dibayar layak, berarti selalu ada pekerjaan, meski pada saat yang sama saya juga berpikir menulis memang bukan untuk bayaran.
Butuh waktu lama, beberapa patahan karier, dan berbagai gonjang-ganjing kehidupan untuk menyadari bahwa yang ia maksud bukan itu.
Menulis yang baik bukan sekadar jaminan ekonomi; ia adalah jaminan moral.
Selama integritas terjaga, jalan penulis tidak pernah benar-benar habis.
Kontrak Moral yang Tidak Bisa Dinego
Andreas dan Yayasan Pantau tidak hanya mengajari saya teknik menulis.
Mereka membangun sebuah etos. Di masanya, Andreas mendorong standar honorarium penulis yang tinggi agar media belajar menghargai kualitas.
Itu bukan sekadar strategi ekonomi; itu pernyataan sikap bahwa etika punya “nilai.”
“Menulis dengan baik,” buat Om AH, selalu menyiratkan keberanian. Setelah disiplin verifikasi yang melelahkan, setelah riset, setelah proses panjang mengendapkan bahan, penulis harus berani mengambil posisi.
Dan untuk tiba di posisi itu, ada lima pilar yang tidak boleh diganggu gugat: tidak mengarang, transparan tentang metode, bersandar pada liputan sendiri, disiplin verifikasi, dan menjaga independensi.
Karier penulis sering patah bukan karena kekurangan kesempatan, tetapi karena kredibilitas retak sedikit demi sedikit.
Lima pilar itu adalah pagar. Bila pagar itu rubuh, pekerjaan ikut runtuh. Bila pagar itu dijaga, maka benar kata Om AH: pekerjaan tidak akan hilang.
Compok Cellep: Rumah yang Menuntut Kejujuran
Rumah ramah alam yang ia bangun bersama Sapariah Saturi dan dirancang arsitek Yu Sing bukan sekadar hunian.
Ia seperti pernyataan sikap dalam bentuk konkret. Pengejawantahan prinsip act local, think global.
Segala sesuatu di sana bekerja dalam sistem. Air kotor diolah kembali melalui empat kolam hingga menjadi jernih, air hujan ditampung dan difilter, dan hampir tidak ada yang terbuang sia-sia.
Kalau saya tidak salah dengar, Om AH bilang hanya 15 persen air yang benar-benar terbuang.
“Jangan buat sumur,” katanya, “sumur bikin tanah menurun.”
Rumah itu terasa seperti metafora dari disiplin verifikasi yang selalu diajarkannya itu sendiri. Jika alur airnya dibiarkan runtuh, lingkungan ikut runtuh. Jika metode verifikasi diabaikan, tulisan ikut keruh.
Arsitektur Compok Cellep memaksa penghuninya bertanggung jawab atas setiap jejak dan tindakan, sama seperti seorang penulis yang harus bertanggung jawab atas setiap kalimat atau tulisan.
Yang mencolok dari rumah itu bukan kemewahannya, meskipun dibangun dengan harga yang tidak murah, tetapi konsistensi logika Om dalam mengajar menulis: tidak ada ruang untuk kebohongan, tidak ada ruang untuk ketergesaan.
Penulis boleh salah, tapi tidak boleh bohong.
Lima Menit yang Tidak Boleh Disepelekan
Sore itu, tamu berdatangan. Usia tidak mengurangi ritme Andreas. Ia tetap bergerak cepat, menjawab pertanyaan, meladeni diskusi.
Ia tahu ia tidak punya kekuatan militer atau uang triliunan untuk menahan arus kepalsuan. Senjatanya hanya menulis dan sesekali main gitar.
Di tengah semua itu, saya meminta lima menit waktunya.
Saya tahu ia sibuk. Saya tahu waktunya mahal. Tetapi ia menepi dari kerumunan. Ia mendengarkan. Ia memberi ruang—untuk foto, untuk ngobrol. Dan dalam lima menit itu, semua kecemasan saya luruh.
Saya menangis, entah karena lega atau karena akhirnya bertemu kembali dengan seseorang yang telah membentuk perjalanan menulis saya.
Lima menit itu bukan sekadar perhatian. Itu adalah pelajaran. Mungkin itu tradisi yang ia warisi dari guru-gurunya. Tradisi "membuka pintu," bahkan ketika ada deadline, bahkan ketika tubuh letih.
Menanamkan nilai tidak bisa ditunda. Lima menit itu adalah bentuk investasi moral yang tidak terlihat, tetapi kelak menentukan arah langkah banyak orang, termasuk saya yang segera harus meninggalkan Maja.
Pulang dengan Pemahaman Baru
Ketika saya meninggalkan Compok Cellep, saya membawa sesuatu yang lebih jelas dari sebelumnya.
Menulis yang baik tidak menjamin kenyamanan finansial. Saya juga masih banyak utang. Namun yang pasti, ia menjamin bahwa kita tidak tergilas oleh kehancuran moral.
Selama integritas dijaga, selama itu penulis telah jadi manusia.
Penulis yang baik tetap memiliki pekerjaan karena ia tetap memiliki fungsi: menjadi suara di tengah pembungkaman, menjadi mata yang jernih ketika banyak orang memilih kabur dari realitas.
Itulah yang tidak pernah sepenuhnya saya mengerti dulu. Sekarang, saya mulai melihatnya.
Sebab kebenaran selalu mencari orang yang mau menuliskannya.
Maka, selama kita menjawab panggilan itu, mungkin kita tidak akan pernah kehabisan pekerjaan. Yang sering habis justru keberanian.

.jpg)
Leave a Comment