Perjalanan ke Kampung Salaka dan Pergeseran Perspektif yang Tidak Direncanakan
Pada akhirnya, saya berdandan.
Bukan karena tuntutan kantor, bukan karena ada rapat penting, dan bukan pula karena janji temu yang membuat jantung sedikit bergerak lebih cepat.
Saya berdandan untuk sebuah tujuan sederhana bersama Endang Taryana, yang saya panggil Pak Acep, di Ciapus.
Saya menyiapkan diri seperti orang yang hendak memasuki kawasan spiritual. Pura Parahyangan Agung Jagatkarta berdiri di kaki Gunung Salak, dan pikiran saya langsung mengarah ke sana.
Saat membaca chat dari Pak Acep, saya hanya menangkap kata “pura”, bukan “Camping Ground Kampung Salaka”.
Ekspektasi segera berlari mendahului pemahaman. Saya membayangkan wangi dupa, suasana hening, dan struktur bangunan yang juga mengingatkan saya pada vihara Pa Auk Tawya Vipassana Dhura Hermitage.
Ekspektasi vs. Realitas: Perjalanan ke Kampung Salaka Ciapus
Kenyataannya berbeda. Kami akan mengunjungi Kampung Salaka, di Desa Sukajaya, Tamansari, sekitar 14,5 kilometer dari pusat Bogor.
Begitu tiba di lokasi, saya baru menyadari bahwa tidak ada yang salah dalam chat. Yang keliru hanya cara saya membaca dengan tergesa, dengan imajinasi yang lebih cepat dari fakta.
Rute menuju Kampung Salaka melewati jalan menanjak, berkelok yang sebagian sedang dicor.
Deretan pohon yang memayungi jalur terasa seperti koridor menuju ruang yang lebih hening. Begitu sampai di titik pandang utama, saya terdiam tanpa alasan.
Dari ketinggian ini, Bogor mengecil seperti miniatur. Kampus besar seperti IPB hanya sebesar bungkus rokok. Jakarta, yang sering membentuk dirinya sebagai pusat ambisi, terlihat seperti tumpukan kardus kusam.
Nike berdiri sedikit di depan sebelum berkata, “Ternyata kita (manusia) sangat kecil.”
Kalimat itu mengendap langsung, seperti kerikil yang jatuh ke permukaan air dan memunculkan gelombang yang bergerak jauh ke dalam diri saya.
Memahami Perspektif: Tubuh, Filsafat Merleau-Ponty, dan Lifeworld Schutz
Hari itu, pengalaman sederhana memberikan satu pemahaman: perspektif bukan semata soal cara berpikir. Perspektif juga soal di mana tubuh kita berdiri.
Maurice Merleau-Ponty pernah menulis bahwa persepsi tidak bersifat pasif. Tubuh ikut bekerja, ikut mengolah dunia.
Di ketinggian seperti ini, saya merasakannya dengan jelas. Angin yang menempel di kulit, udara dingin yang memenuhi paru-paru, bunyi kecil dari pepohonan yang memecah diam. Tubuh saya menjadi tempat terjadinya pemahaman itu.
Sebelum ke sini, saya tahu bahwa Bogor itu kecil dalam skala Jabodetabek.
Tetapi mengetahui adalah satu hal, sedangkan melihat adalah hal lain. Banyak hal yang biasanya tampak besar menyusut begitu tubuh berada di tempat yang berbeda.
Walaupun manusia kecil dalam skala kosmis, kita menampung perasaan yang tidak pernah kecil: takjub, takut, rindu, hilang, pulih.
Artinya, kapasitas batin tidak pernah sejajar dengan ukuran tubuh.
Dalam keheningan itu, seorang petugas datang membawa kumpulan kertas berisi tarif.
Ada biaya kawasan, dua puluh lima ribu untuk dua orang, termasuk parkir. Kehadiran petugas itu seperti tanda yang menarik saya kembali ke realitas.
Alfred Schutz pernah menulis tentang lifeworld, dunia tempat kita bergerak dan berinteraksi setiap hari. Manusia tidak hidup dalam satu dunia saja. Kita berpindah dari satu struktur realitas ke struktur lainnya.
Di Kampung Salaka, saya berada dalam dunia yang berbeda dari dunia di bawah sana. Di ketinggian ini, Jakarta tidak lagi mengintimidasi.
Kota itu hanya tampak seperti tumpukan kardus rapuh yang kehilangan suara dan urgensinya.
Ruang Antara (Liminality) dan Belajar dari Ketidakpastian
Namun tidak ada satu dunia pun yang bisa kita tinggali terus-menerus. Pada titik tertentu, seseorang atau sesuatu mengajak kita kembali ke realitas yang penuh aturan dan harga.
Makanan datang saat di kejauhan awan hujan menggantung dan di lokasi ini matahari tetap terang. Kami duduk di gazebo sambil menikmati makan siang dengan udara segar menyentuh kulit.
Ada ketenangan yang muncul ketika tubuh akhirnya berhenti mengejar sesuatu.
Pengalaman sederhana justru sering memberikan sesuatu yang tidak kita cari.
Dalam teori Jack Mezirow, momen seperti ini disebut disorienting dilemma. Asumsi lama bertemu kenyataan yang tidak sejalan dengannya.
Ketidaksesuaian itu membuka pintu menuju ruang antara, liminality, tempat pemahaman baru mulai mengambil bentuk.
Dalam kasus saya, semuanya dimulai dari salah membaca chat. Sebuah kekeliruan kecil membuka jalan ke ruang yang lebih luas dari dugaan awal.
Sebelum turun, saya belajar mengendarai vespa untuk pertama kalinya. Rasa canggung, takut jatuh, dan keraguan untuk menggerakkan tangan muncul bersamaan.
Jika pemandangan ketinggian "merendahkan" saya dalam skala besar, vespa "merendahkan" saya dalam skala kecil dan intim.
Hidup memberi ruang kontemplasi dan sesekali memaksa kita menginjak gas.
Jelang magrib, kami menghabiskan waktu di sebuah gubuk bambu tempat petugas camping ground berjaga. Sederhana dan hangat.
Ruang seperti ini mengingatkan saya pada kehidupan yang lahir dari tangan manusia, bukan dari angka, laporan, dan citra.
Ketenangan Saat Berani Melihat Ulang Dunia
Mungkin itu alasan perjalanan seperti ini memberi rasa tenang.
Ketika dunia terasa terlalu besar, mungkin kita perlu naik sedikit. Lihat kota dari ketinggian. Lihat masalah dari jarak. Lihat diri sendiri sebagai titik kecil yang sedang belajar membaca ulang langkah.
Saya pulang tanpa kesimpulan besar, tetapi dengan ruang baru di dalam diri. Ruang yang membuat dunia terasa lebih luas daripada kemarin.
Hidup sering bergerak seperti itu. Kesalahan kecil membawa kita ke tempat yang tidak direncanakan, dan dari sanalah perspektif bergeser tanpa kita sadari.
Saya memang bersiap untuk tujuan yang keliru, dan justru itu yang membawa saya pada pengalaman yang paling tepat.
Pada tepi ketinggian itu, saya akhirnya memahami sesuatu yang mungkin selama ini terlewat. Jawaban tidak selalu harus ditemukan. Cukup bergeser sedikit lalu berani melihat ulang dunia dari titik yang berbeda.
Di momen itu, segalanya terasa cukup. Segalanya terasa akan baik-baik saja.

.jpg)
Leave a Comment