Menyusuri Talang Rabun: Air Terjun Stabil, Tebing Lengkung, dan Arter Batu Lapis

Akses yang buruk adakalanya justru menyelamatkan sesuatu dari kehancuran yang terlalu disengaja.

Kalimat itu meluncur tanpa direncanakan di tengah perjalanan menuju Talang Rabun. Di depan kami, jalan tanah berbatu menanjak, sebagian dicor secara swadaya, seolah tidak pernah berniat bersahabat dengan motor matic yang kami bawa. 

Secara geografis Talang Rabun tidak jauh dari Bandar Lampung. Tetapi jarak tidak selalu ditentukan oleh kilometer. Sekali-sekali lebih ditentukan oleh tanjakan, lumpur, dan keputusan untuk menyerah atau lanjut. 

Di peta bisa saja terlihat dekat. Di tubuh terasa seperti masuk ke semesta lain.

Entah di tikungan yang mana, Psycel sempat melempar kalimat, “Pakai sandal jepit aja, kan cuma air terjun.”

Baru belakangan saya sadar, kalimat itu merangkum cara kami memandang perjalanan ini, sebelum jalan mulai menunjukkan wataknya sendiri.

Motor Matic yang Menyerah dan Pertolongan Pakde Bin

Motor matic kami akhirnya menyerah. Ban berputar di tempat, suara mesin serak, V-belt menjerit seperti minta dibebaskan dari tugasnya. 

Kami berhenti. 

Bekal makan siang yang diniatkan untuk dinikmati sambil “chill” di dekat air terjun (seperti gambar-gambar di feed media sosial) terpaksa kami gelar di tengah rute, di kebun kopi warga. 

Nasi, lauk sederhana karya Junita Ibrahim dan Psycel, air minum. “Gua udah masak dari jam 4,” ujar Junita. Kalimat yang membuat tanjakan ini terasa lebih panjang dari yang terlihat.

Kami makan sambil tertawa, di tanjakan yang buat orang lain mungkin terlihat menyedihkan.

“Kita coba dulu aja,” kata Faaris, meski wajah kami semua sama-sama pasrah. 

Saat bungkusan baru setengah terbuka, satu motor trail berhenti. Pengendaranya turun dengan tenang, memperkenalkan diri sebagai pengelola basecamp di dekat air terjun. 

Dialah Pakde Bin—Binarno—lelaki 49 tahun yang kemudian saya kenal sebagai salah satu penyangga utama wisata Talang Rabun.

Junita dan Psycel akhirnya ditumpangi oleh Pakde Bin dan seorang warga lokal lain, Melan. “Tadi kami lagi gotong royong. Kalau bukan Pakde yang telepon, saya nggak bakal ke sini.” 

Perjalanan kami lanjutkan dalam formasi baru: Junita dan Psycel ikut motor trail Pakde dan Melan, sementara saya dan Faaris kembali bergelut dengan matic yang terus mengeluh setiap kali tanjakan muncul. 

Sebagian jalan tanah telah mengering, perjalanan terasa sedikit lebih ramah. Banyak hal memang berubah begitu saja setelah melewati kerepotan pertama. 

Seperti hidup, setelah kesulitan selalu ada jeda kemudahan yang meski kecil tapi terasa nikmat bila direnungkan.

Mengeja Makna di Balik Nama: Stabil dan Batu Lapis

Pada Minggu, 7 Desember, kami mengunjungi tiga titik wisata: Air Terjun Stabil, Tebing Lengkung, dan Air Terjun Batu Lapis. 

Kesempatan yang tidak selalu didapat semua pengunjung.

Saya sempat bingung: di Google Maps tempat itu ditulis sebagai “Air Terjun Talang Rabun”. Padahal nama yang tepat adalah Air Terjun Stabil. 

“Dinamakan Stabil karena debit airnya tetap, bahkan saat kemarau panjang,” jelas Pakde. “Musim hujan pun airnya tidak terlalu besar.” 

Nama itu bukan gaya-gayaan. Ia mencerminkan sifat air terjun yang tenang menghadapi ekstremnya cuaca.

Pakde juga cerita, dari tiga spot itu, Air Terjun Stabil punya makna paling pribadi buatnya. Nama kelompok tani hutan mereka pun mengambil akronim STABIL: Sejahtera, Tertib, Adil, Berdaya, Indah, Lestari. 

Mahéng, Faaris, Junita, dan Psycel berfoto di Air Terjun Stabil setinggi 30 meter, Talang Rabun, Pesawaran.

Melan menambahkan, tinggi air terjun mencapai tiga puluh meter. Untuk mencapainya, pelancong harus menuruni ratusan anak tangga. 

Ada mata air jernih yang bisa langsung diminum: segar di tenggorokan, dingin di pikiran. Ada juga beberapa generator mini untuk melistriki basecamp.

Setelah Air Terjun Stabil, kami menuju Tebing Lengkung. Sesuai namanya, tebing ini berada di tikungan aliran sungai, melengkung seperti pahatan yang belum selesai. 

Tidak ada pagar pembatas. Tidak ada tiket elektronik. Hanya tanah, batu, dan intuisi bahwa manusia cuma tamu yang mudah tergelincir di tempat seperti ini. 

Untuk mencapai titik itu kami harus menyusuri sungai, masuk ke hutan, lalu keluar di sela kebun kopi dan bebatuan kali. Beberapa dari rombongan kami terguling. Tidak ada luka berarti; hanya tawa, kelelahan, dan sedikit kebingungan.

Terakhir, Air Terjun Batu Lapis. Sesuai namanya, kultur batunya berlapis-lapis seperti lembaran buku.

Foto bersama Mahéng, Pakde Binarno, Faaris, Junita, Psycel, dan Melan di Air Terjun Batu Lapis, Talang Rabun, Pesawaran.

Air menyusuri setiap sela dengan sabar, tanpa ambisi jadi dramatis, tanpa obsesi menjadi konten laris.

Traveler yang ingin mengunjungi tiga spot ini bisa menyewa guide Rp100.000 untuk satu kelompok berisi maksimal sepuluh orang.

Sejarah Tersembunyi: Jejak Pelarian G30S dan Swadaya Warga

Di balik keindahan yang terlihat seperti hadiah, ada kerja panjang yang tidak pernah tampil di poster wisata.

Pakde cerita, pengelolaan titik-titik wisata ini dilakukan secara swadaya sejak 2018. Perbaikan jalan malah sudah dimulai sejak 2016. 

Dulu, jika hujan turun, perjalanan ke lokasi bisa memakan waktu setengah hari, bahkan dengan motor trail. Jalan penuh lumpur, dalam, dan menyedot tenaga. 

Pengecoran jalan dilakukan dengan gotong royong: iuran, tenaga, waktu, dan keyakinan bahwa tempat ini layak dirawat meski negara tidak selalu hadir di mulut tanjakan.

Pakde menambahkan, Talang Rabun sendiri menyimpan riwayat panjang. 

Pada 1971, seorang laki-laki asal Madura bernama Rokim datang membuka lahan di kawasan ini. Ia melarikan diri karena terlibat, atau dituduh terlibat, dalam peristiwa G30S. 

Untuk menghindari deteksi pemerintah, ia mengganti namanya menjadi Rabun. Dari nama itulah wilayah ini dikenal sebagai Talang Rabun.

Dalam tradisi setempat, “talang” berarti kumpulan permukiman dalam satu wilayah. 

Sehingga Talang Rabun bukan sekadar titik di peta, tapi jejak pelarian, ketakutan politik, dan upaya bertahan hidup. 

Pakde Bin melanjutkan bahwa dulu Talang Rabun adalah kampung besar dengan ratusan kepala keluarga. 

Pada 1990, era Orde Baru, mereka direlokasi ke Tulang Bawang. Setelah Reformasi 1998, anak-anak mereka—generasi kedua—mulai kembali. 

Kini wilayah itu masuk kawasan Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman. 

Secara administratif, kelompok tani hutannya menginduk ke Desa Sukadadi, Kecamatan Gedong Tataan, Kabupaten Pesawaran. Secara emosional, mereka menginduk pada tanah tempat leluhur mereka pernah bersembunyi dan bertahan.

Titipan, Bukan Warisan: Pelajaran dari Jalan yang Rusak

Tentang dampak wisata, Pakde tidak menutup-nutupi. 

Semakin banyak pengunjung berarti peluang perbaikan sarana dan kesempatan kerja. Tetapi semakin banyak orang juga berarti semakin rapuh jaminan kenyamanan dan keamanan hutan. 

“Masih banyak pengunjung yang kurang sadar, tidak membuang sampah pada tempatnya,” katanya pendek, seperti orang yang sudah terlalu sering kecewa untuk marah. 

Di musim hujan, warga menyiasati licinnya jalan dengan memasang rantai di ban motor. Cara lama yang masih bekerja dengan baik.

Saat hujan turun saat kami hendak pulang, pemandangan berubah cepat. Air terjun tetap di tempatnya, tetapi jalan pulang berubah menjadi ujian kesabaran. Lumpur naik ke betis. Ban selip. Tanah seperti ingin memastikan siapa yang paling keras berusaha. 

Junita dan Psycel kembali ditumpangi salah satu anggota rombongan trail. Saya dan Faaris tinggal bersama motor matic yang sejak awal seperti tidak pernah setuju dengan rencana ini. 

Beberapa kali saya terpeleset dan jatuh. Bangkit lagi. Jatuh. Bangkit lagi. Ada malu, kadang jengkel, dan sedikit bangga. Bukan karena saya pulang sebagai pemenang setelah menaklukkan tanjakan, tapi sebagai orang yang tidak mudah menyerah. 

Sebab, Talang Rabun tidak memberi kemudahan. Ia memberi saya ukuran ulang tentang arti kesabaran.

Pakde mengucapkan satu kalimat yang terasa seperti penutup tapi justru membuka banyak hal, “Alam ini titipan, bukan warisan.”

Titipan berarti bisa ditarik kapan saja. Titipan berarti tidak boleh dirusak sesuka hati. Titipan menempatkan kita sebagai perantara yang bertugas merawat sebelum menyerahkan pada tangan setelah kita. 

Saya pulang dengan tubuh pegal, betis keram, celana penuh lumpur, dan kepala penuh pikiran.

Pikiran tentang akses yang mengerikan tapi justru menyelamatkan. Tentang wisata yang memberi harapan ekonomi tapi membuka peluang rusaknya lanskap. Tentang sejarah pelarian yang berubah menjadi kampung. Tentang air terjun yang stabil di tanah yang tidak selalu stabil. 

Saya tidak tahu sampai kapan Talang Rabun bertahan dalam keseimbangan rapuhnya. Tidak tahu apakah suatu hari nanti jalan akan mulus dan rombongan bus besar bisa masuk tanpa motor trail. 

Yang saya tahu pada hari itu saya melihat bahwa sebuah tempat hidup bukan karena promosi, tetapi karena orang-orang yang bersedia jatuh-bangun merawatnya tanpa panggung. 

Dan mungkin, di situlah promosi terbaik bekerja. Tidak lewat baliho. Tidak lewat slogan. Tidak lewat judul berita “hidden gem” nan clickbait ala-ala. Tetapi melalui cerita tentang jalan yang rusak, orang-orang yang sabar, dan air yang jatuh tanpa menuntut tepuk tangan. 

Kalau suatu hari kamu ke sini dan ingin melengkapi cerita ini, mungkin Pakde Binarno bisa menemani.

Silakan menghubunginya di sini.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.