Bendungan Batutegi: Belajar Membaca Harga Sebuah Tempat
Saya mulai percaya bahwa sebuah tempat tidak hanya soal lanskap, melainkan juga soal biaya yang harus "dibayar."
Setiap tempat menyimpan logikanya sendiri, logika yang seringkali tersembunyi di balik keindahan permukaan.
Untuk menemukan logika dan menghitung ‘harga’ tersebut, seseorang harus terlibat dalam perjalanannya, dan melepaskan peran sebagai komentator.
Perjalanan ke Bendungan Batutegi: Mencari Logika Tempat
Sore Minggu di akhir November 2025, Bang Hendi Ajo membonceng saya dengan motor, sementara Bang Ayun memimpin perjalanan dengan kendaraan kesayangannya.
Tujuan kami sore ini ialah Bendungan Batutegi di Kecamatan Air Naningan, Tanggamus, Lampung.
Tidak terlalu jauh, tapi cukup untuk membuat saya merasa sedang keluar dari rutinitas yang akhir-akhir ini makin mengeringkan kepala.
Kami berangkat ketika matahari belum benar-benar turun di Jl. Neglasari 1, RT.01/RW.01, Sinar Jawa. Bang Ajo menyetir dengan semangat khas warlok—meski ia baru beberapa pekan tinggal di sini.
Bang Ayun lain lagi. Sebagai warlok yang sesungguhnya, ia memakai suara knalpot sebagai bentuk validasi diri. Mungkin itu bagian dari ritus sosial yang tidak tertulis di sini.
Dulu saya pikir pola pembuktian diri hanya milik kota. Ternyata tiap daerah, termasuk Air Naningan, punya cara menegakkan ego masing-masing, walaupun wujudnya bisa berbeda-beda.
Jalan menuju ke Bendungan Batutegi, seperti banyak jalan dalam hidup, tidak selalu lurus. Ada persimpangan, tanjakan, bahkan lubang.
Harga Pembangunan: Dari Sampah Hingga Jejak Manusia di Balik Bencana
Kami tidak langsung ke bendungannya, tetapi lebih dulu berhenti di bagian outlet waduk, atau saluran di mana air dibuang dari reservoir. Ternyata hari ini air sedang dialirkan keluar.
Setelah berhenti sebentar, kami melanjutkan ke dermaga; tempat dengan warung dan perahu nelayan diparkir. Begitu sampai, yang pertama menyambut pandang bukan hanya birunya waduk, melainkan juga tumpukan sampah plastik di beberapa sudut.
Mungkin kita lebih sering menikmati alam, bukan benar-benar mencintainya.
Di lokasi, tiba-tiba sepupu saya menelpon, mengabari bahwa keluarga di Aceh baik-baik saja. Sebab beberapa hari terakhir, Aceh dan sejumlah wilayah di Sumatera diterjang banjir yang memutus banyak akses.
Belakangan di internet, ada kalimat yang sering muncul, “bencana alam adalah takdir Tuhan.” Mungkin ada benarnya, tetapi saya tidak sepenuhnya setuju. Ada jejak manusia juga di sana. Hutan dibabat, emas dikeruk, sungai dipaksa memikul beban yang bukan kodratnya.
Gelondongan kayu yang hanyut saat banjir di Sibolga–Tapteng menjadi bukti yang sulit dibantah.
Saya sempat kagum melihat luasnya permukaan air Bendungan Batutegi, tetapi di balik kekaguman itu selalu ada pertanyaan kecil yang ikut muncul. Ekosistem pasti berubah. Aliran yang dulu bebas kini terpotong; begitu pula jalur ikan dan rantai makanan lain.
Harga pembangunan seringkali tidak terlihat dari jauh. Bendungan bukan hanya tentang debit air, listrik, atau foto indah yang dibawa turis.
Ia juga tentang rantai kehidupan yang pelan-pelan terputus, dan tentang nyawa yang ikut tenggelam dalam sejarah.
Ritus Sosial dan Validasi di Air Naningan
Selain memandang keindahan waduk, saya memperhatikan ritus validasi anak muda setempat. Tidak ada lencana di dada, tetapi suara knalpot, cara memarkir motor, dan gaya tongkrongan sudah cukup menjadi penanda eksistensi.
Di kota, validasi diri sering datang lewat pencapaian atau pengakuan formal. Di Air Naningan, bunyinya lain. Di sini, suara dan jenis motor serta kedekatan antar teman sekampung menjadi semacam self-badge yang jauh lebih relevan.
Di titik itu saya sadar, perjalanan ini bukan tentang pergi ke tempat yang jauh, tetapi tentang menempuh jarak lain dalam memahami orang lain dan tentunya memahami diri saya sendiri.
Dalam perjalanan pulang, kami sempat berhenti dekat kabel listrik jatuh dan menghalangi jalan. Saya turut membantu mengarahkan mobil yang melintas.
Bang Ayun nyeletuk, “Jauh-jauh dari Kalbar cuma buat jadi tukang parkir, ya?” Kami tertawa, dan seketika suasana jadi lebih cair.
Humor boleh jadi memang dipakai untuk menjaga ruang pertemanan tetap hangat, supaya jeda tidak berubah menjadi keheningan yang canggung.
Tidak lama setelah itu, kami berpapasan dengan seorang biduan yang berjalan kaki, sepertinya ia baru pulang dari mengisi acara di rumah salah satu warga. Bang Ajo sempat bercanda ingin menawarinya tumpangan.
Saya tidak sepenuhnya nyaman, tetapi juga tidak punya kendali atas situasinya. Di momen ini, saya memilih belajar menempatkan diri pada posisi pengamat, bukan komentator.
Jika ada ruang kontemplasi yang muncul dari kejadian kecil ini, mungkin tentang bagaimana perempuan menjadi subjek sekaligus objek dalam percakapan dan interaksi sosial sehari-hari.
Bukan untuk menyalahkan siapa pun, tetapi untuk memahami bahwa setiap daerah punya kebiasaannya sendiri, dan beberapa di antaranya memang perlu kita lihat lebih jernih sebelum memutuskan sikap.
Mencari Makna Baru di Balik Pemandangan
Rencana awal saya ke sini hanya untuk mencari data. Riset. Tugas. Tetapi seperti biasa, tempat sering membawa kita pada makna lain.
Alam, dengan caranya yang sabar, memberi ruang kepada manusia meski manusia berkali-kali lupa bahwa tanpa alam, kita tidak mungkin bertahan.
Saya percaya setiap tempat menyimpan cerita. Hanya saja tidak semua cerita diucapkan dengan jelas. Sebagian hanya bisa dirasakan, seperti angin yang menyentuh kulit lalu pergi tanpa suara.
Saat kami akhirnya turun dan meninggalkan bendungan, saya merasa ada sesuatu yang berubah. Tidak besar, tidak dramatis. Saya masih Mahéng yang sama, tapi cara saya melihat sebuah tempat kini jadi berbeda.
Bukan lagi sekadar pemandangan indah atau sekadar udara yang menenangkan. Melainkan tentang apa yang muncul ketika kita benar-benar melihat.
Tentang apa yang tinggal dalam ingatan ketika kita memberi ruang untuk mengingat.
Mungkin buat saya sekarang, perjalanan bukan lagi tentang sampai di suatu tempat, tetapi tentang menemukan cara baru untuk melihat.

.jpg)
Leave a Comment