Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2025

Perbedaan Esai, Opini, dan Artikel: Panduan Lengkap untuk Penulis Pemula

Gambar
Apa sih bedanya esai, opini, dan artikel?  Pernah merasa bingung saat diminta menulis "esai" tapi malah menulis opini? Atau sebaliknya, menulis artikel tapi dianggap terlalu seperti esai? Kamu nggak sendirian.  Ketiga jenis tulisan ini—esai, opini, dan artikel—memang sering disalahpahami karena punya kesamaan: semuanya berisi pandangan atau pemikiran tentang suatu topik. Banyak penulis pemula yang gagal menembus redaksi atau merasa tulisannya kurang 'menggigit' karena nggak membedakan format ketiga genre ini.  Padahal, di dunia penerbitan dan penulisan, setiap genre punya aturan main, tujuan, dan 'aura' masing-masing.  Kesalahan memilih genre sering jadi sebab utama tulisan ditolak, bukan karena idenya buruk. Artikel Sebagai Payung Besar: Kenali Dua Anak Genre Utamanya Di media massa (koran, majalah, portal berita), istilah Artikel sering digunakan sebagai umbrella term untuk semua tulisan prosa non-fiksi yang diterbitkan di berbagai kolom atau rubrik. ...

Sumpah Pemuda: Saat Kita Bicara Satu Bahasa, Tapi Melupakan 718 yang Lain

Gambar
Setiap 28 Oktober, kita merayakan Sumpah Pemuda dengan ikrar "Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia."  Ini adalah momen krusial untuk persatuan. Namun, bagi saya, perayaan ini juga selalu mengingatkan pada duka kolektif yang tak terucapkan.  Bagaimana nasib 718 bahasa daerah yang menjadi akar identitas kita? Bahasa bisa bikin kita paham, tapi juga bisa bikin malu di depan satu warung. Dari "ora mas" di Jogja sampai "jangak" di Ketapang, saya belajar Indonesia lewat serangkaian momen culture shock bahasa memalukan.  Dan mungkin generasi setelah saya nggak akan punya kesempatan yang sama untuk belajar Indonesia sedalam itu. Sejak lulus MI saya sudah merantau. Dari tsanawiyah sampai aliyah, hidup saya lebih sering di tempat orang. Jadi waktu pertama kali ke Jogja tahun 2014 untuk kuliah, saya merasa sudah kebal dengan segala macam kultur baru. Saya pikir, harga kosan dan manisnya gudeg nggak akan mampu mengg...

Sudah Mau November Lagi: Catatan Tentang Luka, Doa, dan Pulang ke Diri Sendiri

Gambar
Sudah setahun sejak saya ditinggalkan oleh orang yang dulu saya sebut cinta. Sekarang, ketika November hampir datang lagi, saya sadar, ternyata waktu memang guru yang baik. Dulu, saya menghabiskan siang dan malam dengan lagu Bernadya, “ Untungnya, Hidup Harus Tetap Berjalan .”  Di masa itu, setiap lirik terasa seperti tangisan kecil yang menemukan gema. Saya tidak bisa berbuat apa-apa, bahkan mengetik yang biasanya jadi pekerjaan saya, tidak bisa saya lakukan. Saya menghabiskan banyak waktu dengan menangis di sudut-sudut Sekretariat Nasional Jaringan GUSDURian.  Bukan sekadar menyuguhkan kopi. Ini adalah momen saya menemukan arti move on yang sesungguhnya di Jaringan GUSDURian. Beruntung GUSDURian Jogja jadi tempat yang aman untuk pulih. Sekarang, lagu yang sama terdengar seperti senyuman masa lalu penuh ironi tapi hangat.  Ini adalah inti dari belajar dari perpisahan yang sesungguhnya. "Life is a tragedy when seen in close-up, but a comedy in long-shot." — Charl...

Tantangan Menulis Tentang Komunitas dan Budaya Lokal: Catatan Reflektif dari Runduma

Gambar
Esai Bagian 3 dari Seri "Perjalanan Menulis Buku Runduma" (Etika dan Refleksivitas Etnografi) "Yang paling akhir dari sebuah perjalanan adalah pengalaman yang bisa jadi pengamalan." — Mahéng, Runduma: Surga Kecil di Wakatobi Dari Niat Memberdayakan ke Pembelajaran Mendalam Ketika pertama kali berangkat ke Pulau Runduma, saya datang dengan semangat volunteer yang lazim: membawa serta pengetahuan untuk "memberdayakan masyarakat lokal."  Pendidikan formal dan bacaan akademik yang saya miliki membuat saya merasa cukup siap berkontribusi. Namun, Runduma segera mengubah semuanya. Di hadapan realitas kehidupan Runduma saya justru dihadapkan pada kenyataan yang berbeda: saya yang harus belajar untuk lebih "pintar" memahami kehidupan. Pengalaman ini mengajarkan saya tentang positionality dan reflexivity dalam penelitian etnografi.  Posisi saya sebagai outsider (orang luar komunitas...

Proses Riset Lapangan dan Wawancara dalam Menulis Buku Runduma

Gambar
Esai Bagian 2 dari Seri "Perjalanan Menulis Buku Runduma"   Setiap tulisan yang otentik lahir dari telinga yang mau mendengar dengan baik. Dalam penulisan Runduma: Surga Kecil di Wakatobi , riset lapangan menjadi jembatan krusial antara data faktual, pengalaman personal, dan suara masyarakat  yang hidup berdampingan dengan laut.  Proses ini mengubah catatan lapangan menjadi kisah hidup yang membumi serta dapat dipercaya. Artikel ini membedah sebagian kecil metodologi yang saya gunakan di Pulau Runduma, dari merancang riset sosiologis hingga menerapkan etika storytelling , yang secara fundamental membentuk narasi dalam buku. 1. Merancang Riset Lapangan: Dari Peta ke Pulau Tulisan nonfiksi kreatif memerlukan peta penelitian yang fleksibel.  Langkah awal riset bukan hanya menandai koordinat, tetapi memahami sejarah dan struktur sosial yang mendasarinya.  Saya mempelajari bahwa penduduk Runduma berasal dari Tiga ...

Runduma Wakatobi: Menjelajahi Surga Terluka (Catatan Penulis dan Latar Belakang Sosiologis)

Gambar
Esai Bagian 1 dari Seri "Perjalanan Menulis Buku Runduma" Ketika Peta Bicara Lebih dari Koordinat Ada dua alasan mengapa seorang penulis memilih sebuah tempat sebagai latar cerita.  Pertama, karena ia pernah berada di sana—fisiknya menyentuh tanah, matanya menatap horison, telinganya mendengar suara ombak atau angin malam.  Kedua, karena tempat itu punya jiwa yang seolah memanggil, mengajak dialog yang lebih dalam dari sekadar keindahan visual. Wakatobi, khususnya pulau kecil Runduma, menjadi setting buku saya Runduma: Surga Kecil di Wakatobi karena kombinasi kedua alasan tersebut.  Ini bukan pilihan yang lahir dari rekomendasi wisata, tapi dari pengalaman langsung dan refleksi mendalam tentang apa artinya menjadi bagian dari Indonesia. Terutama Indonesia yang jarang terdengar, yang terlupakan. Wakatobi: Di Balik Akronim yang Eksotis Wakatobi adalah akronim dari empat pulau utama: Wangi-Wangi, Kaledupa, ...

Cara Membuat Wikidata Entry untuk Penulis Indonesia: Panduan Lengkap dengan Contoh Praktis

Gambar
Wikidata: Pintu Masuk Gratis ke Google Knowledge Graph yang Lebih Mudah dari Wikipedia. Pernahkah kamu bertanya-tanya mengapa beberapa penulis Indonesia memiliki panel informasi di Google Search saat nama mereka dicari? Atau mengapa AI seperti Chat-GPT dan Gemini bisa langsung memberikan informasi spesifik tentang seorang penulis?  Jawabannya ada di Wikidata–sebuah "database tersembunyi" yang menjadi sumber data utama untuk Google Knowledge Graph dan sistem AI modern. Artikel ini akan memandu kamu membuat Wikidata entry agar nama kamu sebagai penulis berpotensi muncul di panel informasi google, lengkap dengan tangkapan layar dan tips optimasi. Apa Itu Wikidata dan Mengapa Lebih Mudah dari Wikipedia? Perbedaan Wikidata vs Wikipedia Wikipedia: Ensiklopedia untuk Manusia Format: Artikel naratif panjang dengan paragraf. Audience: Pembaca manusia. Kriteria: Ketenar...

Repotnya Berjualan di Pasar Kite Sungailiat: Filosofi Dagang 'Anti Ditawar' di Tengah Pandemi

Gambar
Aku berhenti melaju setelah melihat parkir motor berbaris rapi. Tulisan Pasar Kite Sungailiat Bangka masih diselimuti hawa dingin dan mengembun. Minggu 3 Mei 2020. Tepat hari ketiga aku belajar berjualan secara tradisional. Aku mulai mengelilingi setiap inci pasar dan harus berdesak-desakan dengan pedagang lain. Melangkah menembus hiruk-pikuk dan teriakan-teriakan penjual. “Anti bocor”.  “Tiga Sepuluh,” ujarnya tanpa henti. Sebuah pertanyaan ramah  terlontar membuatku menoleh.  “Dari Pangkal (Pangkalpinang) bang?,” tanyanya sambil berkenalan. Setiap pasang mata pembeli aku sapa sambil menawarkan daganganku: “Serbet ajaib, dicuci basah, dijemur kering.”  Paling tidak kalimat itu dapat menghibur diriku sendiri yang masih canggung dan (sedikit) gengsi. Kios ikan-ikan menjadi pelabuhan terakhirku untuk melepas lelah setelah mengelilingi pasar dalam keadaan berpuasa. Hiruk Pikuk Pasar Kite dan Dampak COVID-19 Pengunjung Pasar Kite tergolong ramah da...

Untuk Diriku Sendiri yang Terbangun Malam-Malam

Gambar
Aku terbangun di tengah malam. Bukan karena mimpi buruk, tapi karena pikiranku terlalu ramai.  Ada banyak hal yang berputar-putar. Tentang orang yang kusayang, tentang kehilangan, tentang waktu, tentang rasa yang kadang hangat, kadang menakutkan. Dalam gelap yang sunyi, aku mendengar detak jantung dan langkah pikiranku yang tidak mau diam. Mungkin beginilah bentuk perjalanan menuju dewasa: tidak selalu berupa kemajuan, adakala hanya duduk diam sambil menunggu hati reda. Di usia yang hampir menginjak kepala tiga ini, aku pikir perbaikan diri berarti menjadi lebih produktif, lebih tenang, lebih tahu arah.  Tapi belakangan aku belajar, self-improvement tidak selalu tampak seperti kenaikan grafik. Kadang, ia hadir dalam bentuk kejujuran paling sederhana seperti mengakui bahwa aku sedang takut. Aku takut kehilangan seseorang yang aku sayang. Tapi lebih dari itu, aku takut kehilangan diriku sendiri di tengah rasa itu. Ketakutan ini tidak datang tiba-tiba. Ia tumbuh dari pengalaman ...