Tantangan Menulis Tentang Komunitas dan Budaya Lokal: Catatan Reflektif dari Runduma
Esai Bagian 3 dari Seri "Perjalanan Menulis Buku Runduma" (Etika dan Refleksivitas Etnografi)
"Yang paling akhir dari sebuah perjalanan adalah pengalaman yang bisa jadi pengamalan."
— Mahéng, Runduma: Surga Kecil di WakatobiDari Niat Memberdayakan ke Pembelajaran Mendalam
Ketika pertama kali berangkat ke Pulau Runduma, saya datang dengan semangat volunteer yang lazim: membawa serta pengetahuan untuk "memberdayakan masyarakat lokal."
Pendidikan formal dan bacaan akademik yang saya miliki membuat saya merasa cukup siap berkontribusi. Namun, Runduma segera mengubah semuanya.
Di hadapan realitas kehidupan Runduma saya justru dihadapkan pada kenyataan yang berbeda: saya yang harus belajar untuk lebih "pintar" memahami kehidupan.
Pengalaman ini mengajarkan saya tentang positionality dan reflexivity dalam penelitian etnografi.
Posisi saya sebagai outsider (orang luar komunitas) bukanlah sesuatu yang bisa diabaikan. Ia adalah elemen sentral yang membentuk cara saya melihat, mendengar, dan menulis tentang Runduma.
1. Refleksivitas dalam Riset Lapangan
Menulis tentang komunitas lokal menuntut kerendahan hati dan kesediaan untuk mempertanyakan asumsi-asumsi kita sendiri.
Runduma mengajarkan saya tentang ketahanan yang diam—sabar menghadapi isolasi, ramah terhadap kerasnya laut, dan setia pada tradisi.
Saya sering ingin bertanya: bagaimana mungkin mereka bertahan tanpa listrik stabil, tanpa akses internet yang memadai?
Tapi jawaban mereka justru terlihat dalam aktivitas sehari-hari. Dalam senyum saat menjemur ikan, kerja sama menampung air hujan.
Jika sebelumnya saya berpikir pintar itu mengajar, sekarang saya tahu pintar juga berarti mampu belajar dari cara hidup orang lain.
2. Dilema Penulis Outsider: Antara Representasi dan Apropriasi
Dilema terbesar saya adalah bagaimana menulis tanpa merampas suara mereka.
Apakah sah bagi saya menceritakan budaya mereka dengan sudut pandang saya sendiri? Ini adalah pertanyaan etis dan politis.
Setiap penulis membawa bias dari latar belakang mereka. Nah di sini penting untuk mengakui bias itu secara terbuka, dan berupaya menciptakan ruang di mana suara komunitas tetap terdengar.
Saya belajar bahwa etika menulis budaya lokal bukan tentang menampilkan suara mereka sesuai harapan pembaca kota, tapi tentang memberi ruang bagi mereka untuk berbicara melalui hal-hal kecil: peribahasa, lelucon, doa, atau ritual yang hanya bisa dipahami jika kita hadir cukup lama dan dengan sikap hormat.
3. Tantangan Epistemologis: Pengetahuan Lokal vs Pengetahuan Akademik
Masyarakat Runduma memiliki pengetahuan maritim yang kompleks seperti cara membaca arus laut, mengenali musim ikan, dan menjaga ekosistem.
Pengetahuan ini bukan hasil dari pendidikan formal, tapi dari pengalaman turun-temurun dan hubungan spiritual dengan laut.
Pengetahuan seperti ini sering dianggap "tradisional" oleh kerangka epistemologis barat. Saya belajar untuk tidak menilai pengetahuan lokal dengan standar akademik, tapi memahaminya dalam konteks dan logikanya sendiri.
Ini sejalan dengan prinsip epistemic justice—mengakui bahwa ada banyak cara sah untuk mengetahui dan memahami dunia.
4. Bahasa, Waktu, dan Ruang: Mendidik Ulang Diri Saya Sendiri
Runduma membuat saya sadar bahwa penelitian lapangan bukan hanya soal mengumpulkan data, tapi juga tentang membongkar batas-batas diri sendiri.
Di kota, efisiensi adalah ukuran keberhasilan. Di Runduma, kesabaran adalah bentuk kebijaksanaan. Menunggu bukan waktu yang terbuang, melainkan bagian dari proses menghormati ritme kehidupan komunitas.
Banyak penulis gagal menangkap esensi komunitas lokal karena terburu-buru mencari "eksotisme."
Padahal yang paling berharga justru proses melihat lambat-lambat—mendengar suara riak laut, menunggu jawaban dari sesepuh, atau sekadar duduk diam menatap senja sambil berbincang ringan dengan warga.
5. Etika Relasional: Menulis Bersama, Bukan Tentang
Pelajaran terpenting yang saya dapatkan adalah pentingnya ethical relationality—membangun hubungan yang saling menghormati dengan komunitas yang kita tulis.
Prinsip ini mengubah dinamika kekuasaan: Runduma bukan lagi "objek" penelitian, melainkan mitra yang memiliki kendali atas narasi mereka sendiri.
Meskipun tidak menggunakan kerangka Community-Based Participatory Research (CBPR) secara formal, saya berupaya menerapkan prinsip serupa: Meminta izin, menjelaskan tujuan penulisan, dan menghormati permintaan jika ada informasi yang tidak boleh dipublikasikan.
Ini adalah proses membangun kepercayaan dan menghormati kedaulatan masyarakat Pulau Runduma atas cerita mereka sendiri.
Refleksi: Saya yang Belajar, Bukan Mereka yang Diajari
Pengalaman di Runduma menampar ego saya sebagai penulis yang lama hidup di kota. Saya datang dengan niat menyumbang pengetahuan, tapi pulang dengan pelajaran tentang kerendahan hati.
Mereka tidak membutuhkan "pencerahan" dari saya. Mereka sudah memiliki terang mereka sendiri dengan cara menata hidup sederhana tapi bermakna, dalam cara bertahan dan tetap bersyukur meski dalam keterbatasan material.
Dalam kasus saya, "manfaat" yang saya terima jauh lebih besar: perubahan cara pandang tentang kehidupan, kebijaksanaan, dan kemanusiaan.
Ini adalah konsep reciprocity dalam etika penelitian indigenus—bahwa penelitian harus memberi manfaat timbal balik.
Komentar
Posting Komentar