Mahéng: Arti Sebuah Nama dan Perjalanan Menemukan Diri
Kita harus keluar kamar agar mengetahui kondisi rumah kita yang sesungguhnya.
**
Orang memanggilnya Ajeng (AJJANK), salah satu siswa dari Gampong Paya Baro, sebuah desa di pelosok Aceh Barat yang melanjutkan pendidikan ke Yogyakarta. Aku pertama kali bertemu dengannya di penghujung Mei 2014. Kami kebetulan satu pesawat menuju kota yang sama.
Dari sekian banyak nama, ia lebih senang dipanggil Ajeng. Katanya, nama itu pemberian seseorang yang sangat spesial. Sejak kecil ia punya banyak nama, berpindah sekolah, dan bahkan pernah jadi buron tentara. Semua bukan sekadar untuk bisa makan, tapi agar bisa tetap hidup.
“Karena Ayah saya punya jabatan pemerintahan, sama GAM dianggap Indonesia, sama tentara dianggap GAM. Kami tidak lebih seperti keluarga PKI diperlakukan oleh kedua pihak. Mirip Hoakiao pada zaman Soeharto.”
Ayah Ajeng, Ali Kasem, menjadi Geuchik sejak Ajeng berumur sembilan hari hingga sekitar 2008. Tak ada yang mau menggantikan posisinya. Waktu itu, jadi Geuchik berarti menukar nyawa dengan tanggung jawab. Perannya mirip kepala suku.
Ajeng banyak cerita tentang masa kecilnya. Ia diadopsi oleh keluarga di desa tetangga, bekerja di pasar, menjadi kuli bangunan, lalu tinggal di panti asuhan Dinas Sosial Aceh Barat. Ia dikeluarkan karena suka memanjat pagar malam-malam untuk nongkrong di warung kopi, terutama kalau Manchester United bertanding.
“Saya sering bilang mau ke pengajian. Akhirnya ketahuan."
Setelah didepak dari panti. Ia harus menyewa tempat tinggal agar bisa melanjutkan sekolah. Aku tidak pernah menyalahkan Ajeng karena ia seperti itu. Ia lebih bisa memahami dirinya, dan yang pasti, jiwa pemberontaknya muncul bukan tanpa alasan.
Pernah juga ia ketahuan memanjat pagar sekolah saat ujian. Untuk menjalankan aksi bulusnya itu, ia melempar tas duluan, biar dikira membeli alat tulis di kantin luar sekolah. Tapi sialnya, tas itu jatuh ke kubangan air sehingga terdengar oleh gurunya.
Ajeng diadili dengan cara-cara kekeluargaan.
Mungkin itu sebabnya saat Aliyah ia terancam tidak naik kelas. Beruntung, karena senang menulis, ia akhirnya dinaikkan percobaan.
“Ini calon sastrawan,” kata guru Bahasa Indonesianya di MAN Aceh Barat pada kesempatan lain.
Puisi berjudul "Awan Putih" benar-benar menyelamatkan sekolahnya.
Awan Putih
Warnamu
melambangkan kesucian.
Indah saat dipandang,
benderang saat dihayal.
Tapi mendung tiba-tiba saja datang,
putihmu menjadi hitam,
kini hanya penyesalan yang kau dapatkan.
Benar saja, ia terselamatkan. Namun Ajeng ditempatkan di kelas Ilmu Sosial—atau “kelas buangan”—yang isinya anak-anak "nakal." Sekolah memperlakukan kelasnya berbeda dengan kelas-kelas Ilmu Alam. Ia kemudian memberontak, bersama teman-temannya mendemo kantor kepala sekolah.
Lagi-lagi, pendidikan Ajeng nyaris terhenti. Tapi keberuntungan seperti enggan berpisah darinya. Guru akuntansi yang menyukai ketekunannya mengikutsertakan Ajeng dalam olimpiade akuntansi tingkat provinsi. Tak berhenti di sana, ia bahkan terpilih mengikuti les gratis di salah satu sekolah favorit di Meulaboh.
Ia berangkat bersama teman sebangkunya kala itu, Riki Muhamanda.
“Saya tidak berpikir sekolah menyogok saya agar tidak kembali demo. Saya pikir, saya harus menyelesaikan sekolah. Setidaknya, harus lebih tinggi dari ayah. Saya harus selesai, supaya bisa membiayai adik-adik.”
Aku duduk sambil memperhatikan dalam-dalam. Perawakannya aneh. Ia menaiki pesawat hanya dengan celana training dan sandal jepit, serta membawa sebuah tas lusuh. Tidak ada ciri-ciri orang yang ingin kuliah.
“Di gampong (desa), aku dianggap tidak gaul, tidak fashionable,” timpal Ajeng seakan mengetahui isi kepalaku.
Aku tertarik mengenal Ajeng lebih dekat. Ia berbeda dari stereotipe orang Aceh kebanyakan. Mereka biasanya dianggap doyan hidup glamor, egois, kaya raya, bahkan tampan. Mereka juga sering dianggap benci pada orang Jawa seperti aku.
Ceritanya, dalam satu pertemuan dengan teman-temanku, kami nongkrong di sebuah kafe. Kebetulan, temanku yang jadi bintang di kelas ikut nongkrong—sebut saja namanya Rizky. Ia salah satu orang Aceh yang tampan, dan langka.
Saat kami sibuk menyeruput minuman, Ines datang menghampiri Rizky. Kebetulan, Ines temanku juga, dan ia naksir pada Rizky yang tampan itu.
Setelah Ines pergi, Rizky berceloteh sinis.
“Cantik sih, cuma Jawa,” katanya.
Aku pribadi beranggapan, konflik antara orang Aceh dan orang Jawa adalah luka lama yang terus diwariskan. Terlebih, orang Jawa dalam perspektif orang Aceh dianggap “penjajah.” Banyak orang Jawa yang bermigrasi ke Aceh hidup makmur, sedangkan kaum “pribumi” justru menjadi buruh di pabrik-pabrik milik orang Jawa.
Terlebih sejak militer Indonesia datang, banyak orang Aceh yang ditembak mati. Kalaupun tidak mati, ya babak belur. Termasuk Pak Ali Kasem, ayah Ajeng. Bahunya copot dan kedua rahangnya patah terkena jungle boots.
Ajeng sendiri hampir terkena peluru saat bermain kelereng di rumah neneknya.
Saat itu, militer Indonesia tiba-tiba menyerang salah satu anggota GAM yang sedang pulang ke rumah. Rumah itu kemudian dibakar hingga rata dengan tanah.
Ia tidak berhasil selamat. Sebelum dipancung, tubuhnya diiris dengan belati, lalu diteteskan cairan jeruk nipis. Saat menceritakan peristiwa itu, Ajeng menggigil. Tubuhnya bergetar.
“Apakah kamu dendam pada orang Jawa?” pancingku.
“Saya dendam pada kolonialisme. Lebih dari itu, saya belum bisa menerima apa yang menimpa kami. Bukan karena ayah saya dihajar oleh orang Jawa, tapi karena kami tidak tahu apa salah kami. Ayah saya itu WNI yang baik.”
“Lalu kamu dukung GAM?”
Ajeng menarik untuk dijadikan bahan studi kasus karena ia lahir dan besar di tengah badai peluru. Militer Indonesia saat itu membunuh dan menyiksa warga sipil yang tak berdosa. Ajeng bercerita, itu dilakukan militer Indonesia saat mereka kalah perang di lapangan.
“GAM itu punya tenaga dalam yang mungkin sudah langka bagi orang kota sepertimu,” kata Ajeng.
BILA KAMU ingin main-main ke Gampong Paya Baro, tempat Ajeng lahir, kamu akan menelusuri krueng (sungai) Woyla yang jernih. Sepanjang jalan, pinggangmu akan kesakitan karena jalan belum beraspal. Saat konflik Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan militer Indonesia meletus, jalan ini bahkan belum ada.
Jalan ini baru dibangun pada 2005 dan baru bisa dilalui kendaraan roda empat sekitar medio 2010. Pada musim hujan, jalanan licin dan berlumpur. Banyak kecelakaan tunggal terjadi di sini. Selain itu, jalannya berbukit dengan pemandangan indah.
Pun ada satu lokasi yang cukup angker. Namanya Gunong Rambong. Suatu ketika, seorang gadis yang tidak mau dijodohkan meminum racun di sini. Di tempat ini pula, banyak jenderal GAM—orang Aceh menyebutnya panglima nanggro—yang dipacul kepalanya hidup-hidup.
“Kalau kepala yang dipacul, kan bisa langsung mati. Tapi kalau kemaluan yang dipacul pakai pacul sawah tumpul, itu yang bikin saya ngilu sampai hari ini,” kata Ajeng.
Banyak orang yang mengalami kejadian mistis saat melewati jalan ini sendirian pada malam hari. Ada yang melihat pasar, rambutnya tersangkut di leher, ditebengi di belakang, bahkan melihat kepala terbang mirip kuyang yang siap menemani perjalananmu.
Sebelum jalan ini ada, masyarakat yang ingin ke kota Meulaboh harus menaiki perahu menyusuri sungai selama satu jam. Jika cuaca buruk, kecelakaan sering terjadi. Banyak perahu ditelan pusaran air raksasa dan dalam.
Perjalanan kemudian dilanjutkan dengan menaiki travel atau L300—di kota besar mirip dengan angkot. Kendaraan ini hanya beroperasi setiap Selasa dan Sabtu. Jika beroperasi di hari lain, mereka bisa rugi, atau paling tidak, kena palak di jalan.
Penduduk di sini berbicara dalam bahasa Aceh. Bahasa Aceh dialek Paya Baro berbeda dengan beberapa gampong tetangga, meskipun masih dalam rumpun kasar. Misalnya, dalam mengucapkan kata lhe (tiga) berbeda dengan desa tetangga yang memakai dialek lhai.
Dialek ini masih dikategorikan kurang lembut, misalnya dalam panggilan orang kedua. Di desa ini masih digunakan kata ikah (kamu), yang dalam bahasa halusnya dikenal dengan kata droneuh (dirimu).
Penduduk Gampong Paya Baro homogen dan seratus persen beragama Islam yang fanatik. Tidak bisa sembarangan berbicara mengenai agama di sini. Namun jika disuruh salat, alasannya selalu satu: celana kotor.
Mayoritas penduduk bergantung pada hasil alam—kadang sawah, kadang ladang berpindah. Paya Baro dianggap mulai tumbuh sejak 2011, saat pemerintah Aceh Barat memberikan bibit kelapa sawit secara cuma-cuma.
Sejak itu, sawit menjadi sumber penghidupan utama hingga sekarang.
Fasilitas pendidikan di sini hanya berupa satu Madrasah Ibtidaiyah. Jika ingin melanjutkan ke jenjang Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, anak-anak harus hijrah ke gampong tetangga, bahkan ke kota Meulaboh, dengan jarak tempuh puluhan kilometer.
Gedung tempat Ajeng bersekolah kini sudah kosong dan terlantar. Bangunan itu hanya memiliki tiga ruang kelas, masing-masing dibagi menjadi dua. Mayoritas guru laki-laki dan sudah tua.
Ada satu batang pohon akasia tempat Ajeng sering menghabiskan waktu, termasuk untuk belajar baca tulis. Sebab, Ajeng kecil tidak pernah mengenal taman kanak-kanak. Jenjang pendidikan pertamanya adalah Ibtidaiyah, setingkat sekolah dasar.
Ia pertama kali belajar membaca dari buku Bahasa Indonesia Ini Budi karya Siti Rahmani Rauf. Sekarang buku itu sudah langka.
Mungkin Ajeng satu-satunya orang yang tidak setuju dengan apa yang diajarkan buku itu, terutama kalimat Wati pergi ke pasar. Belakangan, kalimat itu ia sebut bias gender.
“Dari kecil sudah ditanam dalam psikologi kita bahwa pekerjaan domestik milik perempuan, dan yang bekerja di luar harus laki-laki,” katanya.
Kini tempat belajar itu sudah tak dapat ditemukan lagi. Yang tersisa hanya semak belukar. Ajeng bercerita, tiap kali pulang ke Paya Baro, tempat itu tak pernah luput disinggahinya.
Bagi kamu yang belum familiar, Gampong Paya Baro berada di Kecamatan Woyla Timur. Woyla adalah salah satu tempat yang memiliki sejarah amat panjang.
Krueng Woyla adalah tempat lahir seorang keujreuen yang menjadi Ulee Balang Gume, yaitu suami seorang wanita bangsawan di Tungkop bernama Pocut Baren, yang memimpin perlawanan terhadap penjajah di kawasan Woyla.
Suami Pocut Baren atau Ulee Balang Gume ini memiliki daerah kekuasaan amat luas, yakni Pameu, Geumpang, Tangse, Anoe, dan Gume. Adapun Tungkop terletak di hulu Krueng Woyla.
Ajeng tumbuh menjadi pribadi yang nakal sejak kecil. Sejak kelas dua Ibtidaiyah ia sudah merokok dan menjadi perokok berat. Acap kali ia dan teman-temannya pergi ke hutan untuk merokok agar tidak ketahuan.
Jika ketahuan, ia akan dikurung seharian di kamar.
“Nakal boleh, jahat jangan,” katanya.
Ia dan teman-temannya juga punya tempat khusus untuk merokok. Salah satunya ada di samping rumah Ajeng; banyak pohon nanas tumbuh di sana. Ia membuat goa kecil di tengah kebun itu untuk merokok. Uniknya, untuk membeli rokok kadang ia menyogok beberapa orang yang lebih dewasa.
“Kalau tidak, saya curi rokok ayah.”
PESAWAT akan segera mendarat di Bandara Adisutjipto, Yogyakarta. Suara petugas terdengar nyaring, mengumumkan bahwa pesawat akan mendarat pada pukul 18.00. Penumpang mulai bergegas mempersiapkan diri untuk turun.
Ajeng mengeluarkan gawainya, memotret pemandangan lewat jendela. Ia tampak terpesona oleh lampu-lampu yang menerangi kota Yogyakarta.
Bagi Ajeng, ini pengalaman baru—pertama kali naik pesawat, dan pertama kali pula meninggalkan Aceh.
Aku sempat bertanya kenapa ia meninggalkan Aceh dan memilih kuliah di UIN Sunan Kalijaga. Ia hanya menjawab pelan, “Kalau ingin melihat rumah kita seperti apa, kita harus meninggalkan kamar. Tidak ada cara lain. Kalau cuma dengar dari orang, pasti bias.”
Setelah pesawat benar-benar mendarat, Ajeng menginjakkan kaki untuk pertama kali di tanah Jawa. Ia sedikit canggung; belum ada yang ia kenal selain aku di sini. Beruntung, saudaranya punya relasi di Yogyakarta. Rumahnya berada di Prambanan, di area persawahan dekat candi. Ajeng pun menginap di sana.
Aku mengantar Ajeng berdasarkan alamat yang ia tunjukkan. Kami naik Trans Jogja. Kata petugas, itu adalah rute terakhir hari itu. Jika tak terkejar, kami harus naik taksi dengan ongkos yang cukup mahal bagi kami.
Namun, taksi dan kendaraan lain di Jogja terasa lebih ramah. Aku teringat pengalaman buruk di Terminal Ubung, Bali. Waktu itu organisasiku sedang mengadakan Musyawarah Kerja Nasional di IHDN. Saat hendak kembali ke Surabaya, teman-temanku dipalak dan dipaksa naik bus tertentu. Mungkin itu ulah oknum.
Tapi kalau kejadian serupa terus menimpa teman-temanku yang lain, apakah ini berarti pengelolaan fasilitas umum memang belum maksimal?
Ajeng tampak mengantuk. Ia hanya diam, memandangi jalan lewat kaca jendela. Penumpang tinggal empat orang, termasuk kami. Mereka semua berbicara dalam bahasa Jawa. Ajeng masih asing, tapi berusaha memahami percakapan itu.
“Kalau kamu ingin menguasai suatu kaum, kuasai dulu bahasanya,” kata Ajeng.
Di Paya Baro, cerita Ajeng, tentara Muslim sering memberi ceramah di masjid desa. Tapi karena memakai bahasa Indonesia, orang-orang jarang tertarik. Mungkin karena mereka tak paham. Kadang serba salah juga: kalau ada militer Indonesia yang bisa bahasa Aceh, mereka malah dituduh pengkhianat.
Tapi paling tidak, kalau militer berbicara dengan bahasa Aceh saat mengajak warga menjaga anak-anaknya agar tak bergabung dengan GAM, mungkin masyarakat akan lebih berempati.
Ajeng sendiri belum terlalu lancar berbahasa Indonesia. Logatnya aneh, kadang bikin orang tertawa. Bahasa Jawa apalagi, seperti bahasa makhluk astral baginya.
Beberapa hari setelah tinggal di Yogyakarta, kejadian lucu pun terjadi. Suatu hari Ajeng pergi membeli lauk di sebuah rumah makan. Ibu pemilik warung bertanya, “Pakai nasi, ora, Mas?”
Ajeng menjawab santai, “Saya beli nasi sama lauk biasa aja, Buk. Enggak usah nasi rames.”
Orang-orang di warung itu langsung terpingkal-pingkal, termasuk ibu warung yang belakangan jadi langganan Ajeng.
“Ora itu artinya ‘tidak’, Mas,” jelas si ibu sambil tertawa.
Ajeng makin bingung. Ia segera meraih belanjaannya, lalu pulang dan menceritakan pengalaman itu padaku.
Bus yang kami tumpangi akhirnya sampai di tujuan akhir. Kami dipersilakan turun. Kebetulan, rumah yang akan kami tuju tidak jauh dari situ. Ajeng langsung akrab dengan orang-orang yang baru ia kenal. Pun denganku. Belakangan, kami jadi teman curhat.
“Lulus di UIN?” tanya Himawan, pemilik rumah.
“Iya,” jawab Ajeng singkat.
“Kalau mau salat Isya, dekat sini ada masjid. Tapi kalau mau salat di rumah, ke arah barat sana.”
Ajeng mengikuti arah yang ditunjuk. Di sana ternyata ada patung salib. Aku melihat raut wajahnya berubah—seperti ada ketakutan yang ia sembunyikan.
Ajeng lahir dari keluarga Islam yang taat. Eksklusif. Ibunya seorang guru Taman Pendidikan Al-Qur’an, sedangkan kakeknya seorang ulama kampung. Maka wajar kalau ia sedikit bingung dengan apa yang baru saja dialaminya.
Himawan, tuan rumah kami, seorang Kristen yang taat. Sama seperti Ajeng, yang juga taat dengan agamanya. Di rumah itulah, titik balik kehidupan Ajeng bermula. Skenario Tuhan memang luar biasa.
Benar kata pepatah: tak kenal maka tak sayang. Dan rasa sayang itu pula yang menjadi cikal bakal toleransi. Maka, kalau ingin kehidupan beragama yang damai, lintas iman harus saling bertemu dan berkenalan.
Di sisi lain, Ajeng tergolong orang yang cukup fanatik. Untungnya, ia cepat “keluar dari kamar”. Lebih beruntung lagi, ia kuliah di Jurusan Sosiologi Agama. Makan dan minum di rumah orang yang berbeda keyakinan membuatnya belajar tentang sosiologi agama bahkan sebelum perkuliahan dimulai.
Ajeng tidak percaya keberuntungan, tapi hidupnya selalu beruntung. Dosen pembimbing akademiknya adalah Amin Abdullah—nama besar dalam dunia pemikiran Islam dan lintas agama. Wawasannya jadi terbuka. Bahkan, pandangannya kini sering kali berseberangan dengan keluarganya.
Ia pernah hampir dipulangkan, hanya karena mendukung salah satu pernyataan Quraish Shihab. Bagi sebagian orang Aceh, Quraish Shihab dianggap sesat.
Malam sudah larut. Ajeng tertidur lelah.
BAGI aku, Ajeng berbeda dengan kebanyakan teman-teman Acehnya yang pernah aku kenal. Kesan pertamaku: ia seperti tak pernah serius. Baik dalam kata-katanya maupun tindakannya. Banyak orang bilang ia gila bahkan banci.
Stereotipe orang Aceh yang hedon atau benci orang Jawa tak pernah muncul dalam dirinya. Enam bulan pertama di Yogyakarta, Ajeng justru sibuk belajar bahasa Jawa. Kini, ia bisa berbicara dalam beberapa bahasa.
Suatu kali aku tanya arti namanya. Ia bilang, nama itu pemberian seseorang yang spesial.
Sekilas, nama Ajeng memang terdengar seperti nama perempuan. Karena itu teman-temannya memanggilnya “Ajjank.” Pengucapannya menggunakan é seperti pada kata Mahéng.
Ia berdalih, nama itu untuk mengaburkan identitasnya. Sebelum diadopsi oleh sebuah keluarga, ia hampir menyaksikan sendiri ayahnya dipancung oleh GAM.
Aku sempat bertanya, siapa sebenarnya yang memburu keluarganya—GAM atau militer Indonesia? Karena jujur, aku sendiri bingung dengan kisah hidupnya.
“Bagi keluarga kami, tentara atau GAM sama saja. GAM menganggap ayah pengkhianat, dan Pai (sebutan menghina untuk tentara) menganggap ayah cuak (mata-mata).”
Suatu pagi, tanggal 4 Desember 2003, Pak Kasem bertugas melepas kerbau dari kandang-kandang warga. Di Paya Baro, setiap pemilik ternak dijadwalkan bergiliran membuka dan menutup kandang.
Kerbau di sana dilepas pagi hari untuk mencari makan di padang rumput, lalu sore harinya akan pulang sendiri ke kandang. Kandangnya terbuat dari belahan bambu, terdiri dari dua bagian: bagian depan untuk perapian dan tempat beristirahat, sedangkan bagian belakang untuk buang hajat.
Ajaibnya, kerbau-kerbau itu tahu membedakan fungsinya masing-masing, seolah punya naluri tersendiri.
Pagi itu, saat pulang dari kandang, Pak Kasem bertemu segerombolan tentara di persimpangan jalan. Mereka bertanya soal keberadaan GAM. “Saya tidak tahu, Pak,” jawabnya singkat.
Padahal sebenarnya, ia tahu. Beberapa hari sebelumnya, ia sempat dibawa oleh anggota GAM ke sebuah gubuk untuk diinterogasi.
Gubuk berukuran 6x8 meter itu dulunya tempat singgah peladang, kini dijadikan markas GAM. Di depan gubuk, beberapa orang tampak terikat, salah satunya disuruh menggali kubur sendiri. Salah satu anggota GAM menyuruh Pak Kasem mengasah parang—parang yang akan digunakan untuk memenggal kepalanya sendiri.
Tiba-tiba, salah satu dari mereka mengenali anak kecil yang berdiri di dekat situ—Ajeng.
“Itu bapakmu?” tanyanya.
Ajeng hanya mengangguk pelan, menggigil ketakutan.
“Lepaskan dia. Aku kenal anaknya.”
Mereka berdua pulang diam-diam tanpa menceritakan peristiwa itu kepada siapa pun, selain padaku.
“Kisah itu terlalu berat untuk diceritakan,” katanya.
“Sampai sekarang pun masih mengganggu pikiranku.”
Namun delapan tahun kemudian, Pak Kasem kembali jadi korban. Seusai pulang dari kandang, ia dihajar habis-habisan oleh segerombolan militer. Tangannya diikat, ia disuruh sujud, lalu dihantam benda keras. Bahunya copot, kedua rahangnya patah.
Sejak itu, Ajeng mengganti namanya menjadi Mahéng. Ia bilang, nama itu pemberian saudaranya, artinya “dekil,” sebuah ledekan dalam bahasa Aceh.
Awalnya ia malu, tapi lama-lama nama itu terasa nyaman. Katanya, dengan nama itu, ia bisa sedikit mengikis masa lalunya.
“Rahmat Ali biar jadi nama yang diakui negara,” katanya.
“Tapi yang diakui keluarga dan teman-teman cukup Maheng. Seorang sederhana, kaya raya, filsuf amatir, dan penyayang. Ya, aku Mahéng yang kalian kenal.”

Komentar
Posting Komentar