Repotnya Berjualan di Pasar Kite Sungailiat: Filosofi Dagang 'Anti Ditawar' di Tengah Pandemi

Aku berhenti melaju setelah melihat parkir motor berbaris rapi. Tulisan Pasar Kite Sungailiat Bangka masih diselimuti hawa dingin dan mengembun. Minggu 3 Mei 2020. Tepat hari ketiga aku belajar berjualan secara tradisional.

Dokumentasi Maheng saat berjualan serbet dan celemek di tengah kerumunan Pasar Kite Sungailiat, Bangka.

Aku mulai mengelilingi setiap inci pasar dan harus berdesak-desakan dengan pedagang lain. Melangkah menembus hiruk-pikuk dan teriakan-teriakan penjual.

“Anti bocor”. 

“Tiga Sepuluh,” ujarnya tanpa henti.

Sebuah pertanyaan ramah  terlontar membuatku menoleh. 

“Dari Pangkal (Pangkalpinang) bang?,” tanyanya sambil berkenalan.

Setiap pasang mata pembeli aku sapa sambil menawarkan daganganku: “Serbet ajaib, dicuci basah, dijemur kering.” 

Paling tidak kalimat itu dapat menghibur diriku sendiri yang masih canggung dan (sedikit) gengsi. Kios ikan-ikan menjadi pelabuhan terakhirku untuk melepas lelah setelah mengelilingi pasar dalam keadaan berpuasa.

Hiruk Pikuk Pasar Kite dan Dampak COVID-19

Pengunjung Pasar Kite tergolong ramah dalam berbagai hal, meskipun kemacetan adalah hal yang tak bisa dihindarkan setiap pagi menjelma. 

Klakson sepeda motor dan decik rem ditarik tiba-tiba, membuat beberapa petugas parkir pun harus turun tangan. Uniknya, tidak ada umpatan-umpatan. Mungkin karena banyak yang lagi berpuasa.

Pembeli harus benar-benar hati-hati agar tidak tersandung saat melewati kerumunan dan jalanan yang menyempit setelah sebagian besar dipakai untuk parkir kendaraan dan beberapa pelapak tamu datang menggelar dagangan.

Tak terkecuali aku yang sudah 45 hari terlantar di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung semenjak pemerintah dianggap “tidak serius” menangani Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). 

Omset pedagang pun mengalami penurunan drastis. Partner berjualan saya, yang biasa di sapa Roni, mengeluh: “Biasanya paling sepi, serbet habis terjual sebanyak 10 lusin. Kali ini paling banyak hanya enam,” keluhnya.

Pasar 'orange' ini terletak sekitar 35 kilometer dari pusat kota Pangkalpinang ke arah Utara dengan jarak tempuh sekitar 45 menit. Pasar Kite sendiri diresmikan pada tahun 2015. Bupati Bangka Tarmizi memilih nama “Kite” (kita) sebagai nama pasar tertua di Sungailiat itu.

Cara 'Menawarkan' Dagangan Agar Tidak 'Ditawar' Balik

Kedua tangan Roni yang mungil tampak lincah menawarkan dagangannya. Ia berjalan mengelilingi pasar yang becek. Ia sudah bertahun-tahun berjualan untuk menghidupi istri dan seorang anak. Di bahunya tergantung puluhan celemek dan di tangan kirinya berjejer keset anyam yang cukup berat.

Dengan posisi berdiri menyamping di tengah kerumunan, Roni seakan mengajarkan susahnya berjualan. Sesekali ia memerintah, “Coba keliling ke sebelah sana yang lebih ramai.” 

Dengan sepenuh hati menjinjing serbet, celemek, dan keset anyam, aku berhati-hati melangkah mengitari gang-gang yang basah sambil berseru “serbet-serbet,” dan menawari ke setiap orang yang lewat.

Bukan perkara mudah setiap hari harus “menawarkan” barang dagangan ke manusia karena dengan sendirinya akan “ditawar” balik.

“Berapa bang?”

“Sepuluh ribu tiga.”

“Nggak empat?”

Cara satu-satunya supaya tidak ditawar adalah dengan berjualan di market yang bergengsi. Itu kata para akademisi sih, yang sering meronta-ronta di kelas. Eh, lagi kuliah daring, ding. Tapi kok UKT tidak jadi dipotong ya?

Tips Berkunjung ke Pasar Kite dan Wisata Sekitar

Setelah berkunjung ke pasar, kamu dapat menghibur diri ke arah Tenggara di Taman Kota Sungailiat dengan jarak berkisar 500 meter. Dapat juga kamu berkunjung ke Timur Laut sekitar 4,5 kilometer menuju Pantai Tongaci melalui Jalan Belinyu-Sungailiat. 

Bila kamu ingin membeli pakaian, sila berkunjung ke pasar atas yang berjarak sekitar 500 meter dari pasar Kite.




Catatan ini ditulis dan tayang pertama kali pada 4 Mei 2020 saat terjadi pandemi COVID-19.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahéng: Arti Sebuah Nama dan Perjalanan Menemukan Diri

5 Teknik Kunci Menguasai Struktur Naratif Fiksi dan Non-Fiksi untuk Pemula

Tujuh Tahun, Tiga Penerbangan, dan Satu Gampong yang Berubah