Proses Riset Lapangan dan Wawancara dalam Menulis Buku Runduma
Esai Bagian 2 dari Seri "Perjalanan Menulis Buku Runduma"
Setiap tulisan yang otentik lahir dari telinga yang mau mendengar dengan baik.
Dalam penulisan Runduma: Surga Kecil di Wakatobi, riset lapangan menjadi jembatan krusial antara data faktual, pengalaman personal, dan suara masyarakat yang hidup berdampingan dengan laut.
Proses ini mengubah catatan lapangan menjadi kisah hidup yang membumi serta dapat dipercaya.
Artikel ini membedah sebagian kecil metodologi yang saya gunakan di Pulau Runduma, dari merancang riset sosiologis hingga menerapkan etika storytelling, yang secara fundamental membentuk narasi dalam buku.
1. Merancang Riset Lapangan: Dari Peta ke Pulau
Tulisan nonfiksi kreatif memerlukan peta penelitian yang fleksibel.
Langkah awal riset bukan hanya menandai koordinat, tetapi memahami sejarah dan struktur sosial yang mendasarinya.
Saya mempelajari bahwa penduduk Runduma berasal dari Tiga Kakdie, khususnya Timu, dan memiliki akar sejarah kuat dari Langgui, seorang guru ngaji yang diutus Kesultanan Buton pada 1800 Masehi.
Dengan latar belakang sejarah ini, pertanyaan kunci riset pun bergeser: bukan sekadar "apa yang indah?", melainkan "bagaimana komunitas yang secara historis selalu berjuang mempertahankan wilayah mereka bertahan di tengah tantangan struktural kontemporer?"
Etika lapangan menjadi prioritas: mendengarkan secara aktif dan menggunakan fused field notes—menggabungkan fakta demografis dengan observasi inderawi, seperti aroma ikan asap, atau jeda hening kolektif.
Detail-detail ini akan menjadi bahan baku emosional dalam narasi.
2. Teknik Wawancara dengan Tokoh Lokal
Wawancara formal dengan daftar pertanyaan tertulis tidak selalu mempan di tengah komunitas maritim. Saya menggunakan pendekatan conversation storytelling, di mana narasumber dibiarkan bercerita secara alami, seringkali dimulai dari ruang sosial mereka—dermaga, atau di bale-bale.
Contohnya, saat berdiskusi dengan Kepala Desa La Barani, beliau secara organik bercerita tentang masa lalu: "dulu (makanan warga Runduma) itu ubi, beras ini belum terlalu... kalau dulu ya mati-mati saja."
Kutipan singkat ini, yang merujuk pada minimnya pengecekan kesehatan sebelum 2019, adalah puncak dari sebuah interaksi otentik.
Saya memastikan untuk tidak mencatat saat interaksi berlangsung, mengandalkan kehadiran penuh (presence). Proses penulisan dan verifikasi dilakukan kemudian, mengandalkan memori plus refleksi dan tentu berdasar rekaman.
Positional awareness ini penting. Detail kecil seperti perbedaan warna cat rumah yang saya amati menunjukkan bahwa perspektif outsider harus selalu dikoreksi oleh realitas warga.
3. Metode “Braiding” Data: Menjalin Fakta, Emosi, dan Refleksi
Untuk menciptakan kedalaman narasi, saya menerapkan metode "Braiding"—menyatukan tiga utas narasi—yang paling jelas terlihat saat membahas isu akses kesehatan yang krusial:
- Utas Fakta: Untuk kasus medis darurat, warga harus mencarter kapal ke Tomia/Wanci dengan biaya Rp 5 juta hingga Rp 6 juta—sebuah angka yang seringkali melebihi pendapatan bulanan mereka.
- Utas Emosi: Momen ini menohok. Biaya 6 juta harus ditukar dengan waktu penyembuhan yang krusial. Rasa empati seorang outsider harus bertransformasi menjadi urgensi naratif.
- Utas Refleksi (Sosiologis): Kasus carter kapal ini adalah manifestasi langsung dari 'diferensiasi sosial yang timpang.' Masyarakat Runduma memiliki kapabilitas (fisik yang sehat), tetapi mereka terhalang (unfunctioning) di hadapan sistem kesehatan yang timpang.
Metode braiding ini memungkinkan cerita tentang satu peristiwa (carter kapal) menghasilkan kedalaman ganda: kisah perjuangan manusia dan analisis sosial yang mendasarinya.
4. Menjaga Etika Kultural dan Sosiologis
Komitmen etis seorang penulis yang datang sebagai relawan adalah menghindari jebakan romantisasi kemiskinan atau eksotisme budaya.
Narasi saya bertujuan mengarsipkan dan memberdayakan, bukan menjual keindahan mereka. Meskipun belakangan kata memberdayakan itu sendiri banyak biasnya.
Risiko komodifikasi itu nyata. Kepala Desa La Barani pernah cerita tentang turis asing yang ingin membeli atau mengontrak lahan di Onesowa untuk membuka resor. Kisah ini mengingatkan bahwa tujuan menulis haruslah melindungi, bukan memanfaatkan, keunikan lokal.
Oleh karena itu, saya memastikan suara warga mengisi, bukan menghiasi. Saat membahas masalah listrik yang rusak sejak 2022, saya mengutip usulan dari Kepala Desa tentang serah terima aset ke desa: "Malah itu lebih enak, kita bisa tau kapan rusak kapan harus diperbaiki kalau dianggarkan dengan anggar desa (DD) tidak bisa karena itu bukan aset desa."
Kutipan ini menunjukkan wawasan dan kemandirian masyarakat dalam mencari solusi struktural.
5. Transformasi Data Menjadi Cerita
Proses terakhir adalah menyusun semua materi riset—catatan lapangan, kutipan langsung, dan refleksi pasca-pertemuan—menjadi narasi yang memikat.
Data tersebut dikumpulkan dan digabungkan menggunakan pola Scene → Summary → Reflection:
- Scene: Pembaca saya bawa hadir ke dalam adegan. Jadi kalau kamu membaca buku Runduma seolah-olah kamu berada di dalam cerita, seperti menonton, itulah kekuatan teknik cerita.
- Summary: Rangkuman dari percakapan atau data yang relevan dengan adegan tersebut.
- Reflection: Mengaitkan adegan dan rangkuman tersebut dengan gagasan besar atau konteks sosiologis.
Pola ini memastikan pembaca tidak hanya mendapatkan informasi, tetapi juga merasa hadir dan terlibat secara emosional dengan subjek cerita, sekaligus memberikan bobot akademis dari perspektif sosiologis.
Komentar
Posting Komentar