Sumpah Pemuda: Saat Kita Bicara Satu Bahasa, Tapi Melupakan 718 yang Lain
Setiap 28 Oktober, kita merayakan Sumpah Pemuda dengan ikrar "Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia."
Ini adalah momen krusial untuk persatuan. Namun, bagi saya, perayaan ini juga selalu mengingatkan pada duka kolektif yang tak terucapkan.
Bagaimana nasib 718 bahasa daerah yang menjadi akar identitas kita?
Bahasa bisa bikin kita paham, tapi juga bisa bikin malu di depan satu warung. Dari "ora mas" di Jogja sampai "jangak" di Ketapang, saya belajar Indonesia lewat serangkaian momen culture shock bahasa memalukan.
Dan mungkin generasi setelah saya nggak akan punya kesempatan yang sama untuk belajar Indonesia sedalam itu.
Sejak lulus MI saya sudah merantau. Dari tsanawiyah sampai aliyah, hidup saya lebih sering di tempat orang. Jadi waktu pertama kali ke Jogja tahun 2014 untuk kuliah, saya merasa sudah kebal dengan segala macam kultur baru.
Saya pikir, harga kosan dan manisnya gudeg nggak akan mampu menggoyahkan mental perantau veteran seperti saya.
Namun yang benar-benar membuat saya bingung dan salah tingkah justru hal yang paling receh. Satu kalimat sederhana dari ibu penjual di warung pecel lele: "ora mas."
Culture Shock Bahasa: Ketika "Ora Mas" di Jogja Bukan Nasi Rames
Ceritanya begini. Suatu malam perut sudah keroncongan. Ada yang menyarankan saya beli makan di warung pecel lele dekat kos, katanya cocok untuk lidah saya yang suka pedas. Mantap, pikir saya. Kombinasinya terdengar unik nun menarik: pecel dan lele.
Saya membayangkan lele goreng yang disiram bumbu kacang pedas dengan sedikit sayuran.
Begitu tiba, saya langsung pesan lele goreng. Lalu datanglah pertanyaan yang mengubah segalanya.
"Pakai nasi 'ra mas?"
Saya langsung bengong. Ini warung pecel juga jual nasi rames? Saya bimbang, lalu menjawab dengan penuh percaya diri, "Saya beli pecel lele saja, Buk. Nggak usah nasi rames."
Seketika orang-orang di warung itu ketawa. Ibu warung pun ikut terpingkal.
"Ora itu artinya 'nggak', Mas."
Kecele saya nggak berhenti di situ. Setelah serah terima pecel lele, saya masih menunggu sayur dan bumbu kacang yang nggak kunjung datang.
Petualangan Salah Paham: Dari "Jangak" di Ketapang ke "Memek" di Bali
Kalau pengalaman di Jogja masih level pemula dalam urusan culture shock bahasa, pengalaman saya di Ketapang, Kalimantan Barat, sudah naik kelas ke level menengah.
Ketapang dan Misteri Kata Jangak
Saya di sana untuk riset bersama komunitas The Power of Mama.
![]() |
| Bersama Komunitas The Power of Mama di Ketapang—pertemuan yang beriringan dengan momen pertama saya mendengar kata jangak. |
Suatu kali, di tengah obrolan santai, salah seorang mama, mungkin karena kasihan melihat saya yang melajang, berinisiatif menjodohkan saya dengan salah satu anak mereka.
Tiba-tiba, mama itu nyeletuk sambil tersenyum, "Anaknya jangak."
Denggggg!
Saya langsung kaget. Di tempat asal saya, kata jangak itu artinya maling. Pencuri. Orang yang suka ngambil barang orang tanpa izin. Dalam hati saya mikir, kok tega-teganya ibu ini menjodohkan saya dengan pencuri?
Sampai akhirnya saya tanya ke teman lokal. Ternyata, di Ketapang, Kalbar, jangak itu artinya cantik, atau 'bagus'. Rupanya mama tadi sedang memuji anaknya.
Bali dan Kata 'Memek' yang Bikin Keder
Salah satu puncak dari petualangan salah paham bahasa saya terjadi saat berkunjung ke Bali.
Bayangkan, baru duduk santai tiba-tiba ada yang bilang (kira-kira begini), “Memek tiange sakit.”
Sebagai orang yang sempat belajar bahasa Jawa, refleks saya cuma bisa melongo sambil bergumam, “Hah? Cocote!”
Belakangan baru saya tahu, maksudnya "Ibu saya sakit." Di sana, kata itu punya makna yang benar-benar berbeda dari yang saya bayangkan.
Saya juga baru tahu kalau di Bali, kata "kenyang" bukan berarti perut penuh. Kenyang di sana berarti alat kelamin laki-laki sedang tegang.
Jadi kalau setelah makan pecel lele dulu saya bilang, "Saya kenyang," mungkin saya sudah jadi bahan gosip satu desa.
718 Cara Bicara: Ancaman Kepunahan Bahasa Daerah Indonesia
Dari tiap salah paham itu, saya jadi sadar satu hal. Bahasa bukan cuma soal kata, tapi juga cara kita memandang Indonesia.
Setiap kali salah paham bahasa seperti itu terjadi, saya selalu diingatkan untuk lebih rendah hati. Kita nggak bisa datang ke daerah baru dengan ekspektasi bahwa orang-orang di sana harus ngomong dengan cara yang kita pahami.
Indonesia punya sekitar 718 bahasa daerah, yang berarti ada 718 cara berbeda untuk bilang "nggak," "iya," atau bahkan ada 718 cara untuk bilang "pinjam dulu seratus."
Kalau saya nggak pernah bingung dengan ora mas, mungkin saya nggak akan belajar bahasa Jawa. Kalau saya nggak pernah kaget dengar jangak di Ketapang, mungkin saya nggak tahu betapa kaya bahasa di Kalimantan.
Kalau saya nggak pernah tertegun dengar kata memek di Bali, mungkin saya nggak akan tahu betapa pentingnya konteks dalam setiap kata.
Saya paham betul rasanya. Di Aceh, yang punya beberapa bahasa lokal, nggak semua orang mau ngomong pakai bahasa daerah. Di kota, bahasa daerah sering dianggap kampungan.
Saya sendiri berasal dari pelosok, tempat bahasa Aceh masih jadi bahasa utama di rumah dan di jalan.
Begitu pindah ke kota untuk sekolah, saya harus belajar bahasa Indonesia. Pernah guru bertanya, "Apa arti kameng dalam bahasa Indonesia?" Saya dengan polos menjawab, "Bebek," karena suara kambing kan mbek-mbek. Seisi kelas langsung tertawa.
Tapi pertanyaannya, berapa banyak generasi setelah saya yang masih punya pengalaman lucu dan membingungkan seperti itu? Berapa banyak anak muda yang masih mau belajar bahasa daerah bukan karena nilai di rapor, tapi karena rasa ingin tahu?
Sayangnya, kekayaan 718 bahasa itu sekarang terancam. Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2020 menunjukkan fakta yang menyedihkan. Penggunaan bahasa daerah oleh generasi muda terus menurun drastis. Generasi Pre-Boomer, yang lahir sebelum 1945, masih 85,24 persen menggunakan bahasa daerah dengan kerabat.
Sementara Post Gen Z, lahir setelah 2013, hanya 61,7 persen. Penurunan lebih dari 23 persen dalam rentang tiga generasi.
Lebih ironis lagi, dari 718 bahasa daerah itu, hanya 18 yang berstatus aman. Sisanya terancam punah, kritis, bahkan ada yang sudah hilang. Sebelas di antaranya berasal dari wilayah timur Indonesia, Papua dan Maluku, yang kini hanya tinggal nama di dokumen kebahasaan.
Sejak Oktober 1980 hingga sekarang, pemerintah bikin festival bahasa, lomba pidato, dan seminar Bulan Bahasa. Tapi kalau dasarnya tidak kuat, itu semua cuma kayak lomba 17-an di tengah jalan. Meriah sebentar, habis itu bubar tanpa jejak.
Program Revitalisasi Bahasa Daerah yang dimulai sejak 2021 sebenarnya bagus, hanya saja jalannya belum maksimal. Dana terbatas, guru kurang, dan banyak program berhenti di spanduk dan pidato.
Di Bulan Sumpah Pemuda: Mengingat Akar dari Bahasa Persatuan
Di Bulan Bahasa ini, mari kita rayakan bukan hanya Bahasa Indonesia yang formal dan baku, tapi juga semua bahasa daerah yang bikin Indonesia jadi Indonesia.
Bahasa yang kadang bikin kita bingung, kadang bikin kita malu, tapi seharusnya bikin kita lebih kaya.
Ironisnya, 718 bahasa daerah kita sekarang lebih sering jadi angka statistik.
Dan kalau semua cuma berhenti di angka, tanpa kebijakan nyata, tanpa guru yang paham cara ngajarnya, tanpa kebanggaan untuk menuturkannya, maka cepat atau lambat, bahasa-bahasa itu akan bernasib sama seperti pecel lele pertama saya di Jogja.
Ada kata pecel-nya, tapi sambal kacangnya entah ke mana.
Seperti Sumpah Pemuda yang dulu diucapkan dengan dada berguncang, kini hanya bersisa gema di linimasa.

Komentar
Posting Komentar