Sudah Mau November Lagi: Catatan Tentang Luka, Doa, dan Pulang ke Diri Sendiri

Sudah setahun sejak saya ditinggalkan oleh orang yang dulu saya sebut cinta. Sekarang, ketika November hampir datang lagi, saya sadar, ternyata waktu memang guru yang baik.

Dulu, saya menghabiskan siang dan malam dengan lagu Bernadya, “Untungnya, Hidup Harus Tetap Berjalan.” 

Di masa itu, setiap lirik terasa seperti tangisan kecil yang menemukan gema. Saya tidak bisa berbuat apa-apa, bahkan mengetik yang biasanya jadi pekerjaan saya, tidak bisa saya lakukan.

Saya menghabiskan banyak waktu dengan menangis di sudut-sudut Sekretariat Nasional Jaringan GUSDURian. 

Mahéng dan Fahruddin Faiz di GUSDURian: Momen pemulihan diri dan refleksi setelah Black Swan.
Bukan sekadar menyuguhkan kopi. Ini adalah momen saya menemukan arti move on yang sesungguhnya di Jaringan GUSDURian.

Beruntung GUSDURian Jogja jadi tempat yang aman untuk pulih. Sekarang, lagu yang sama terdengar seperti senyuman masa lalu penuh ironi tapi hangat. 

Ini adalah inti dari belajar dari perpisahan yang sesungguhnya.

"Life is a tragedy when seen in close-up, but a comedy in long-shot."
— Charlie Chaplin

Ternyata benar. Banyak hal yang dulu membuat saya menangis, kini justru terasa lucu jika dilihat dari jauh. Bahkan saya sudah berani menertawai hidup sendiri.

Menerima Black Swan Kehidupan: Ketika Perpisahan Mengubah Segalanya

Tidak jarang hidup datang membawa peristiwa tak terduga yang mengubah arah semuanya. Filsuf sekaligus ekonom Nassim Nicholas Taleb menyebutnya sebagai Black Swan: peristiwa langka, tak bisa diprediksi, tapi berdampak luar biasa.

Buat banyak orang, black swan adalah kebangkrutan atau kehilangan besar. Buat saya, angsa hitam itu bernama perpisahan dan kehilangan demi kehilangan. Termasuk kehilangan diri sendiri.

Kenapa Kehancuran Adalah Skenario Terbaik Tuhan?

Ia datang tanpa aba-aba, menghancurkan ritme harian, menipu kita untuk merasa kalah. Tapi justru di titik itu hidup mulai menyusun ulang dirinya. 

Mungkin saya tak akan jadi seperti ini bila hubungan itu berjalan mulus; mungkin saya tak akan bekerja di titik yang lebih baik, atau menulis dengan pemahaman yang lebih jernih tentang manusia.

Setiap kehancuran adalah skenario Tuhan untuk menunjukkan bahwa kita tidak sepenting yang kita kira. Dan dari sana, segalanya mulai mengalir lebih jujur, memulai proses cara move on sehat yang sesungguhnya.

Fenomena Benturan Doa: Ketika Harapan Saling Bersilangan

Dulu saya berdoa agar dia kembali. Bahkan setelah berpisah saya mengaji tiap magrib berbulan-bulan.

Ternyata, di tempat lain, dia juga berdoa untuk bahagia—tanpa saya. Dan Tuhan, dengan cara yang rumit tapi adil, memilih mana doa yang lebih layak dikabulkan.

Fenomena itu persis dengan apa yang disebut oleh Bang Een, teman diskusi saya sebagai “benturan doa” — ketika dua harapan manusia saling bersilangan, dan tak mungkin dua-duanya menang. 

Tuhan mungkin bukan memilih siapa yang lebih keras berdoa, tapi siapa yang lebih siap menerima kekalahan.

Doa-doa kita bukan saling membatalkan, tapi beradu arah dan Tuhan memilih yang paling tepat bagi semua pihak.

Doa Bukan Daftar Permintaan, Tapi Dialog

Sejatinya doa adalah dialog, bukan daftar permintaan. Dan biasanya kita berdoa kalau ada maunya, seperti saya mengaji berbulan-bulan itu. Heheh.

Tampaknya itu yang terjadi pada saya: doa saya tak ditolak, hanya dialihkan ke arah yang membuat saya belajar, bahwa kehilangan juga bisa menjadi bentuk terkabulnya doa.

Saya bisa kasih kamu contoh, saat fans Timnas dan Fans Tim Arab Saudi berdoa keras-keras agar masing-masing negaranya lolos ke piala dunia 2026. 

Kita tahu hanya satu negara yang bisa lolos dari keduanya.

Firaun dalam Diri Kita: Pelatih Ketabahan yang Menyamar

Saya percaya, seperti kata Bang Een, setiap orang punya Firaunnya masing-masing. Bisa seseorang, peristiwa, atau bahkan ego sendiri yang menindas tapi diam-diam mendidik.

Mungkin Musa tidak akan menjadi Nabi Musa yang hebat tanpa kehadiran Firaun.

Dalam kisah saya, Firaun datang dalam bentuk cinta yang gagal, rekan kerja yang menusuk dari belakang, dan kegagalan usaha yang hampir membuat saya menyerah.

Semua kejadian itu adalah “tirani” kecil yang memaksa saya belajar berjuang, bukan menyerah. 

Belajar seperti Nabi Musa yang menyeberangi lautan bukan karena ingin berperang, melainkan karena ingin bebas — bebas dari ketakutan, dari keterikatan pada hasil, dan dari versi diri yang lama.

Hikmah di Balik Kegagalan

Tanpa Firaun-Firaun itu, saya mungkin tak akan sampai di tempat kerja yang lebih pantas, tak punya keberanian menulis dengan jujur, atau tak punya kepekaan baru untuk melihat bahwa kemarahan sebetulnya hanyalah bentuk cinta yang tidak menemukan jalan pulang.

Kini saya paham, adakalanya Tuhan memang tidak menyingkirkan “orang jahat” dari hidup kita. Tuhan menempatkan mereka sebagai pelatih ketabahan, agar kita belajar naik derajat bukan lewat kenyamanan, melainkan lewat ujian.

Dan bisa jadi, orang atau sesuatu yang kita anggap jahat itu sebenarnya bukan benar-benar jahat, melainkan cermin dari sisi diri kita yang belum kita pahami.

Cara Move On Sehat Adalah Bersyukur

Sekarang saya tidak lagi memohon agar luka dihapus, tapi bersyukur karena luka itu nyata. Saya tidak lagi berharap waktu kembali, tapi berterima kasih karena waktu berjalan.

Ngaji habis magrib berbulan-bulan yang dulu saya kira gagal ternyata menjelma menjadi bentuk kedewasaan.

Dan cinta yang hilang ternyata hanya sedang diputar arah, agar saya belajar mencintai diri sendiri lebih dulu, sebelum mencintai orang lain dengan cara yang lebih sehat—dan tentu, dengan orang yang lebih tepat.

Sudah mau November lagi. Selain akhirnya bisa pulang ke Aceh setelah tujuh tahun, saya juga merasa berhasil pulang ke diri sendiri.

Mungkin benar, Tuhan tidak pernah salah menjawab doa. Ia hanya mengganti alamatnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahéng: Arti Sebuah Nama dan Perjalanan Menemukan Diri

5 Teknik Kunci Menguasai Struktur Naratif Fiksi dan Non-Fiksi untuk Pemula

Tujuh Tahun, Tiga Penerbangan, dan Satu Gampong yang Berubah