Runduma Wakatobi: Menjelajahi Surga Terluka (Catatan Penulis dan Latar Belakang Sosiologis)

Esai Bagian 1 dari Seri "Perjalanan Menulis Buku Runduma"

Ketika Peta Bicara Lebih dari Koordinat

Ada dua alasan mengapa seorang penulis memilih sebuah tempat sebagai latar cerita. 

Pertama, karena ia pernah berada di sana—fisiknya menyentuh tanah, matanya menatap horison, telinganya mendengar suara ombak atau angin malam. 

Kedua, karena tempat itu punya jiwa yang seolah memanggil, mengajak dialog yang lebih dalam dari sekadar keindahan visual.

Wakatobi, khususnya pulau kecil Runduma, menjadi setting buku saya Runduma: Surga Kecil di Wakatobi karena kombinasi kedua alasan tersebut. 

Ini bukan pilihan yang lahir dari rekomendasi wisata, tapi dari pengalaman langsung dan refleksi mendalam tentang apa artinya menjadi bagian dari Indonesia. Terutama Indonesia yang jarang terdengar, yang terlupakan.

Wakatobi: Di Balik Akronim yang Eksotis

Wakatobi adalah akronim dari empat pulau utama: Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko. 

Nama ini sendiri sudah menunjukkan identitas yang unik, yaitu sebuah kesatuan geografis dan administratif di ujung tenggara Sulawesi yang terdiri dari 143 pulau, di mana hanya 7 di antaranya berpenghuni.

Kepulauan ini terletak di antara Laut Banda di timur laut dan Laut Flores di barat daya, dengan kedalaman laut yang mencapai lebih dari 1.000 meter di beberapa titik. 

Fakta-fakta penting tentang Wakatobi:

  • Dulu, wilayah ini dikenal sebagai Kepulauan Tukang Besi (Blacksmith Archipelago), merefleksikan tradisi kerajinan besi di Pulau Binongko.
  • Sejak tahun 2002, Wakatobi ditetapkan sebagai Taman Nasional Wakatobi (luas 1,39 juta hektar).
  • UNESCO memasukkan Wakatobi dalam daftar Man and Biosphere Reserve pada tahun 2012.
  • Perairan ini mencatat lebih dari 396 spesies karang dan 750 spesies ikan.
  • Jacques Cousteau, legenda eksplorasi bawah laut, pernah menyebut Wakatobi sebagai nirwana di bawah laut.

Namun di balik semua keindahan dan angka-angka statistik itu, ada dimensi lain yang jarang dibicarakan. Salah satunya kehidupan masyarakat di pulau-pulau kecil seperti Runduma.

Runduma: Surga Kecil yang Terlupakan

Runduma adalah pulau kecil yang termasuk dalam wilayah administrasi Kecamatan Tomia, Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara. 

Jika dilihat dari udara, Runduma seperti zamrud kecil yang mengapung di tengah gradasi biru laut.

Penulis (Maheng) memandangi keindahan laut Wakatobi di Runduma. Perahu nelayan berlabuh, simbol kontras surga terabaikan.

Pulau ini memiliki pasir putih yang lembut, air laut yang jernih, dan terumbu karang yang masih asri. Namun, Runduma bukan destinasi wisata yang ramai. 

Tidak ada hotel, tidak ada restoran, bahkan waktu itu tidak ada jaringan internet yang stabil. Listrik pun baru masuk secara sporadis, tidak bisa diandalkan.

Inilah yang membuat Runduma berbeda. Ia adalah surga yang sepi, yang indah sekaligus terisolasi.

Masyarakat Runduma sebagian  adalah keturunan suku Bajo—kelompok etnis maritim yang secara historis hidup semi-nomaden di laut. 

Suku Bajo dikenal sebagai sea nomads atau pengembara laut, yang memiliki pengetahuan laut yang luar biasa.

Namun kehidupan di Runduma tidak semudah keindahan visualnya. Di balik panorama yang memukau, ada permasalahan struktural yang kompleks: akses pendidikan yang terbatas, fasilitas kesehatan yang sangat minim (jika ada yang sakit, harus menyewa kapal seharga Rp 6 juta hanya untuk berobat ke pulau lain), dan stigma sosial sebagai "tempat pembuangan PNS".

Mengapa Runduma?

  1. Pengalaman Personal yang Otentik 

    Saya pertama kali tiba di Pulau Runduma pada Rabu, 27 September 2023, sebagai relawan Village Development Expedition (VDE #3). Momen 'turning point' yang meyakinkan saya bahwa Runduma harus ditulis terjadi saat kami bertemu para guru honorer. Melihat keindahan alam berdampingan dengan ketimpangan akses dasar adalah panggilan batin bagi saya untuk menjadikannya latar cerita.

  2. Representasi Indonesia yang Terpinggir

    Runduma adalah representasi sempurna dari wilayah 3T (Terdepan, Terluar, Terabaikan). Dengan menulisnya, saya ingin memberikan wajah konkret pada statistik itu—wajah anak-anak yang sulit mendapat buku bacaan, wajah ibu hamil yang harus menyewa kapal mahal, wajah guru tanpa privilege akses online. Ini adalah tentang tanggung jawab naratif.

  3. Kompleksitas Budaya Maritim: Bajo dan Bugis

    Wakatobi adalah rumah bagi beragam etnis, terutama suku Bajo. Menulis tentang Runduma berarti menulis tentang relasi manusia dengan laut yang lebih dari sekadar ekonomi, termasuk spiritualitas.

  4. Kontras antara Keindahan dan Ketimpangan

    Alasan paling kuat adalah kontras antara keindahan alam yang luar biasa dengan realitas sosial yang keras. Ini cerita tentang surga yang terluka, yang diabaikan, yang berjuang. Kontras ini memaksa pembaca untuk merenung: apa artinya pembangunan?

  5. Tanggung Jawab Menulis sebagai Orang Luar (Outsider)

    Memilih Runduma sebagai setting adalah komitmen etis untuk menulis dengan empati, kerendahan hati, dan akurasi. Runduma dipilih bukan karena saya merasa berhak menulis tentangnya, tapi karena saya merasa bertanggung jawab untuk menulis tentangnya.

Wakatobi sebagai Metafora Indonesia

Pada akhirnya, Wakatobi—dan Runduma khususnya—adalah metafora bagi Indonesia yang lebih besar. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar, tapi kebijakan kita masih terlalu darat-sentris, terlalu Jawa-sentris.

Buku Runduma: Surga Kecil di Wakatobi ini bukan hanya tentang pariwisata atau konservasi terumbu karang. Lebih dari itu, ini tentang keadilan sosial, tentang hak dasar manusia untuk hidup layak di tanah mereka sendiri.

Kesimpulan: Pulang Bawa Cerita

Saya tidak tahu apakah saya akan kembali ke Runduma dalam waktu dekat. Tapi setiap kali saya membuka halaman buku Runduma, saya merasa "pulang."

Buku ini bukan tentang keindahan yang terhampar, tetapi tentang utang sosial yang tertulis pada setiap garis pantai yang dilupakan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahéng: Arti Sebuah Nama dan Perjalanan Menemukan Diri

5 Teknik Kunci Menguasai Struktur Naratif Fiksi dan Non-Fiksi untuk Pemula

Tujuh Tahun, Tiga Penerbangan, dan Satu Gampong yang Berubah