Untuk Diriku Sendiri yang Terbangun Malam-Malam

Aku terbangun di tengah malam. Bukan karena mimpi buruk, tapi karena pikiranku terlalu ramai. 

Ada banyak hal yang berputar-putar. Tentang orang yang kusayang, tentang kehilangan, tentang waktu, tentang rasa yang kadang hangat, kadang menakutkan.

Dalam gelap yang sunyi, aku mendengar detak jantung dan langkah pikiranku yang tidak mau diam.

Ilustrasi seorang pria terbangun di tengah malam, duduk di tempat tidur sambil memegang kepala, menggambarkan kecemasan dan refleksi diri tentang kehilangan dan perbaikan diri.

Mungkin beginilah bentuk perjalanan menuju dewasa: tidak selalu berupa kemajuan, adakala hanya duduk diam sambil menunggu hati reda.

Di usia yang hampir menginjak kepala tiga ini, aku pikir perbaikan diri berarti menjadi lebih produktif, lebih tenang, lebih tahu arah. 

Tapi belakangan aku belajar, self-improvement tidak selalu tampak seperti kenaikan grafik. Kadang, ia hadir dalam bentuk kejujuran paling sederhana seperti mengakui bahwa aku sedang takut.

Aku takut kehilangan seseorang yang aku sayang. Tapi lebih dari itu, aku takut kehilangan diriku sendiri di tengah rasa itu.

Ketakutan ini tidak datang tiba-tiba. Ia tumbuh dari pengalaman lama: ketika aku memberi terlalu banyak sampai lupa mengisi ulang diriku sendiri, ketika aku menukar keyakinan dengan kebutuhan untuk merasa dibutuhkan. 

Aku pernah mengira cinta sejati berarti menyerahkan segalanya. Kini aku tahu, cinta yang sehat justru memberi ruang bagi keduanya untuk tetap utuh.

Ada satu malam ketika seseorang yang kusayang bilang ia perlu fokus dengan keluarganya. Sesuatu yang sangat wajar, sesuatu yang seharusnya aku mengerti.

Tapi dadaku langsung sesak. Pikiranku langsung lari ke arah yang gelap: apakah aku tidak lagi prioritas? Apakah aku akan digantikan?

Belakangan aku ketemu penelitian John Bowlby dan Mary Ainsworth, dua psikolog yang di tahun 1950-an mulai memetakan bagaimana cara kita mencintai sebenarnya berakar dari cara kita dirawat di masa kecil. 

Mereka menyebutnya attachment theory. Bowlby menulis tiga makalah: tentang ikatan anak pada ibu, tentang kecemasan perpisahan, dan tentang duka di masa kanak-kanak.

Membaca itu seperti berdiri di depan cermin. Polaku, panik saat seseorang yang kusayang perlu ruang, takut tidak lagi jadi prioritas, ternyata punya nama: anxious attachment

Orang dengan pola ini cenderung sangat khawatir akan ditinggalkan, butuh kepastian terus-menerus, dan sering memandang rendah diri sendiri sambil menempatkan pasangan di posisi terlalu tinggi.

Aku tidak tahu apakah ini menenangkan atau justru menyakitkan—menyadari bahwa ketakutanku punya pola, punya sejarah, bukan sekadar "perasaan yang berlebihan" seperti yang sering kumarahi pada diri sendiri.

Dulu aku impulsif. Aku terlalu ingin memastikan hal-hal yang sebenarnya belum waktunya pasti. 

Dalam cinta, aku sering ingin buru-buru tahu hasilnya—apakah aku akan dipilih, apakah ini akan bertahan, apakah semua pengorbanan akan terbayar. 

Pengorbanan? Entahlah! 

Yang pasti hidup tidak selalu berjalan seperti daftar rencana. Tidak ada yang bisa kita pastikan, bahkan perasaan yang kita jaga dengan sepenuh hati.

Sekarang aku belajar mencintai bukan dari kekurangan, tapi dari kelimpahan, dari tempat di mana aku cukup dengan diriku sendiri. 

Ada seorang terapis keluarga bernama Murray Bowen yang menulis tentang ini di tahun 1978. Ia menyebutnya differentiation of self, kemampuan untuk tetap menjadi individu yang utuh sambil tetap terhubung secara bermakna dengan orang lain.

Bowen bilang, orang yang punya diferensiasi tinggi bisa mempertahankan posisi mereka sendiri dalam hubungan yang intens. Mereka bisa tetap tenang dalam konflik, bisa berkompromi tanpa kehilangan diri mereka sendiri. 

Sebaliknya, orang dengan diferensiasi rendah mudah kewalahan oleh emosi, merasa cemas berlebihan dalam hubungan yang intim. Mereka mengalami apa yang Bowen sebut fusion: keterlibatan emosional berlebihan hingga kehilangan batas diri.

Ketika aku menyadari bahwa ketakutanku bukan tentang dia, melainkan tentang "kehilangan peran yang selama ini membuatku merasa berarti", aku sedang mulai bergerak dari fusion menuju diferensiasi. 

Cinta bukan tentang peran. Cinta tentang kehadiran.

Ada satu kejadian yang sulit aku lupakan.

Suatu malam, seseorang yang kucintai menangis tersedu-sedu di ujung telepon. Ia cerita telah membuat kesalahan yang berdampak besar, dan aku tahu, proses  dari kesalahan itu terjadi karena kami terlalu lama berbicara malam itu. Aku turut berkontribusi.

Aku ingat rasa dingin menjalari tubuhku, rasa bersalah yang begitu dalam. Selama berminggu-minggu aku menghukum diriku sendiri dengan pikiran: andai saja aku lebih tahu batas.

Kini, setelah waktu memberi jarak, aku mulai bisa melihat peristiwa itu dengan mata yang lebih tenang. Lebih matang.

Aku sadar, tidak ada niat jahat di sana. Kami hanya dua manusia yang sedang merasa hidup dalam percakapan, lupa bahwa dunia di luar bisa berubah secepat satu detik kelengahan. 

Rasa bersalah itu masih ada, tapi kini aku (dan mungkin kami) tahu bagaimana memeluknya, bukan melawannya.

Ada peneliti bernama James Gross yang di akhir 1990-an menulis tentang cara kita mengatur emosi. Ia bilang, salah satu strategi paling efektif adalah cognitive reappraisal, mengubah cara kita menginterpretasi situasi sebelum emosi membanjiri kita. 

Bukan menekan perasaan, tapi mengubah lensa kita melihatnya.

Ketika aku mengubah narasi dari "Aku sepenuhnya bersalah" menjadi "Kami hanya dua manusia yang sedang merasa hidup", aku sedang melakukan itu. 

Dan ternyata, penyembuhan bukan soal seberapa cepat, tapi seberapa jujur kita mau menghadapi luka.

Yang paling mengejutkan: proses memaafkan diri ini jauh lebih sulit dari yang kubayangkan. 

Sesekali aku ingin cepat-cepat merasa damai, tapi hati menolak. Aku ingat  tulisan Kristin Neff tentang self-compassion

Ia bilang ada tiga hal yang perlu kita pelajari: pertama, bersikap baik pada diri sendiri alih-alih terus mengkritik. 

Kedua, menyadari bahwa penderitaan dan ketidaksempurnaan adalah bagian dari pengalaman manusia bersama—bukan cuma kita yang salah, bukan cuma kita yang terluka. 

Ketiga, duduk dengan emosi tanpa melawannya atau tenggelam di dalamnya.

Ketika aku menghukum diri sendiri selama berminggu-minggu, aku lupa bahwa kesalahan adalah sesuatu yang kita semua alami. 

Ketika aku akhirnya bisa duduk dengan rasa bersalah tanpa melawannya, "kini aku tahu bagaimana memeluknya", aku baru mulai mempraktikkan kelembutan pada diri sendiri. 

Ini menyadarkanku bahwa kesehatan dan keutuhan diri adalah investasi yang paling mahal. Jauh lebih berharga daripada semua hal yang pernah kukejar sebelumnya. 

Aku belajar bahwa menyayangi diri sendiri adalah prasyarat mutlak sebelum mencintai orang lain.

Sebab, cinta yang sehat hanya bisa datang dari kelimpahan, bukan dari kebutuhan mendesak untuk menambal kekurangan. Dan untuk bisa menikmati cinta yang otentik, aku harus terlebih dahulu menikmati dan menguasai masa-masa di mana aku harus sendiri.

Penelitian menunjukkan bahwa orang yang bisa berbelas kasih pada diri sendiri cenderung punya tingkat kecemasan dan depresi yang lebih rendah. Walaupun lebih dari angka-angka itu, aku merasakan sendiri bagaimana rasanya, seperti ada ruang bernapas yang terbuka perlahan di dalam dada.

Ada juga psikolog bernama Everett Worthington yang mengembangkan model untuk memaafkan, termasuk memaafkan diri sendiri. Ia bilang, memaafkan diri bukan sekadar "melepaskan diri dari tanggung jawab," melainkan justru mengambil tanggung jawab yang tulus sambil melepaskan penghukuman diri.

Prosesnya bertahap: mengingat luka, berempati pada diri sendiri yang sedang berjuang, memutuskan untuk memaafkan, berkomitmen padanya, dan mempertahankan komitmen itu ketika rasa ragu datang lagi. 

Dan yang terpenting: berkomitmen untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama.

Keterburuanku membuatku sering lupa menikmati proses. Aku terlalu sibuk memegang arah, sampai lupa memperhatikan langkah. 

Dari situ aku belajar bahwa salah satu bentuk self-improvement paling penting adalah belajar memperlambat diri. Karena terburu-buru bukan tanda cerdas, melainkan tanda cemas.

Ada nama untuk apa yang kurasakan: ambiguous loss. Istilah ini datang dari Pauline Boss, seorang profesor yang menulis tentang kehilangan yang tidak jelas, tidak terselesaikan, tidak punya closure

Dalam konteks hubungan, ambiguitas terletak pada ketidakpastian peran, status, dan masa depan. Boss bilang, kita tidak bisa selalu mendapatkan closure, tapi kita bisa belajar untuk hidup dengan ketidakpastian. 

Dan tidak jarang, justru di sanalah kita menemukan makna baru.

Sekarang aku tidak lagi mencari kepastian dari orang lain. Aku belajar duduk bersama ketidakpastian itu sendiri. 

Karena mungkin, kedewasaan bukan tentang memastikan segalanya berjalan sesuai rencana, melainkan tentang tetap tenang ketika semuanya tidak bisa dipastikan.

Ketakutanku tentang "kehilangan peran yang selama ini membuatku merasa berarti" juga membuatku berpikir: seberapa banyak investasi yang telah aku buat dalam hubungan ini? 

Dan apakah investasi itu membuatku terikat bahkan ketika aku tidak lagi bahagia? Caryl Rusbult, seorang peneliti hubungan, pernah menulis tentang tiga hal yang membuat seseorang tetap berkomitmen: kepuasan, kualitas pilihan lain, dan besarnya investasi yang telah dibuat. 

Yang menarik, investasi bisa menciptakan ikatan yang kuat bahkan ketika kepuasan menurun.

Ketakutanku sebenarnya mencerminkan investasi yang telah aku buat—waktu, perhatian, harapan. 

Tapi kesadaranku bahwa "cinta bukan tentang peran, melainkan tentang kehadiran" adalah langkah penting untuk bergerak dari dependensi berbasis peran menuju cinta yang lebih otentik. 

Cinta yang otentik?

Aku tidak ingin mencintai karena takut kehilangan "investasi."  Aku ingin mencintai karena memilih untuk hadir.

Pelajaran terpenting dalam perjalanan ini adalah menerima bahwa cinta dan kehilangan bukan dua hal yang berlawanan. 

Dulu aku tulis satu kalimat untuk atribusi, life about love, loss, and laugh. Tapi baru benar-benar aku pahami kata-kata yang aku buat sendiri itu saat ini.

Cinta dan kehilangan itu seperti siang dan malam—saling melengkapi, saling menandai keberadaan satu sama lain. Tanpa kehilangan, kita tak akan belajar cara menghargai. Tanpa cinta, kehilangan hanya akan terasa seperti kehampaan.

Perbaikan diri, pada akhirnya, bukan tentang menjadi kuat setiap waktu. Namun tentang punya keberanian untuk tetap lembut, bahkan setelah disakiti. Tentang tetap membuka hati, walau tahu bisa terluka lagi. Tentang tetap percaya, meski dunia kadang bisa seperti komedi.

Setiap kali aku terbangun malam-malam, aku ingin ulangi kalimat kecil ini dalam hati:

Aku ingin tumbuh, bukan menahan. Aku ingin mencintai tanpa takut. Aku ingin tenang, bahkan ketika tak ada yang bisa aku pastikan.

Sebab, adakalanya cinta butuh dijaga dengan jarak, bukan dikejar dengan tamak.

Dan perlahan, aku merasa ada ruang baru terbuka di dalam diriku. Ruang yang tidak lagi dipenuhi tanya, tapi keikhlasan. Ruang yang tidak memaksa siapa pun untuk tinggal, tapi tetap hangat untuk siapa pun yang datang.

Mungkin di situlah self-improvement yang sebenarnya dimulai—bukan di daftar target tahunan, bukan di resolusi atau rencana besar, tapi di saat-saat kecil seperti ini: ketika seseorang terbangun di tengah malam, menatap atap gelap, dan akhirnya berani berkata pada diri sendiri:

Aku masih belajar, tapi aku sudah lebih baik dari kemarin.

Dan jika besok aku kembali terbangun di tengah malam, semoga aku ingat, bahwa tumbuh juga berarti beristirahat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahéng: Arti Sebuah Nama dan Perjalanan Menemukan Diri

5 Teknik Kunci Menguasai Struktur Naratif Fiksi dan Non-Fiksi untuk Pemula

Tujuh Tahun, Tiga Penerbangan, dan Satu Gampong yang Berubah