Postingan

Tujuh Tahun, Tiga Penerbangan, dan Satu Gampong yang Berubah

Gambar
Sudah sejak pagi buta saya di Bandar Udara Rahadi Oesman, Ketapang. Tidak tidur semalaman sebab takut kesiangan, padahal tubuh sudah minta istirahat. Saya belum berani minta tolong Ayas bangunin, entah kenapa kalau alarm sampai meledak pun saya belum tentu bangun, tapi telpon dari Yang Mulia satu itu berbeda. Di ruang tunggu yang pengap itu, kipas menggoyang udara tanpa hasil. Jaket yang saya kenakan terasa salah kostum.  Mas Huda GM kami bilang, "Tenang, Mahéng, cerah." Saya mengangguk, meski kepala terasa berat dan mata pedih. Buat saya, penerbangan pertama selalu yang paling melelahkan. Apalagi kalau pagi buta sudah harus ke bandara. Mungkin karena tubuh belum sempat percaya bahwa ia akan berpindah begitu jauh. Berganti cuaca, dan budaya. Tidak jarang saya sering drop jika pindah daerah terlalu sering, apalagi pindah pulau seperti ini. Pagi itu 30 Oktober, saya hanya ingin segera sampai, di saat yang sama juga diam-diam takut bertemu hal-hal y...

Perbedaan Esai, Opini, dan Artikel: Panduan Lengkap untuk Penulis Pemula

Gambar
Apa sih bedanya esai, opini, dan artikel?  Pernah merasa bingung saat diminta menulis "esai" tapi malah menulis opini? Atau sebaliknya, menulis artikel tapi dianggap terlalu seperti esai? Kamu nggak sendirian.  Ketiga jenis tulisan ini—esai, opini, dan artikel—memang sering disalahpahami karena punya kesamaan: semuanya berisi pandangan atau pemikiran tentang suatu topik. Banyak penulis pemula yang gagal menembus redaksi atau merasa tulisannya kurang 'menggigit' karena nggak membedakan format ketiga genre ini.  Padahal, di dunia penerbitan dan penulisan, setiap genre punya aturan main, tujuan, dan 'aura' masing-masing.  Kesalahan memilih genre sering jadi sebab utama tulisan ditolak, bukan karena idenya buruk. Artikel Sebagai Payung Besar: Kenali Dua Anak Genre Utamanya Di media massa (koran, majalah, portal berita), istilah Artikel sering digunakan sebagai umbrella term untuk semua tulisan prosa non-fiksi yang diterbitkan di berbagai kolom atau rubrik. ...

Sumpah Pemuda: Saat Kita Bicara Satu Bahasa, Tapi Melupakan 718 yang Lain

Gambar
Setiap 28 Oktober, kita merayakan Sumpah Pemuda dengan ikrar "Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia."  Ini adalah momen krusial untuk persatuan. Namun, bagi saya, perayaan ini juga selalu mengingatkan pada duka kolektif yang tak terucapkan.  Bagaimana nasib 718 bahasa daerah yang menjadi akar identitas kita? Bahasa bisa bikin kita paham, tapi juga bisa bikin malu di depan satu warung. Dari "ora mas" di Jogja sampai "jangak" di Ketapang, saya belajar Indonesia lewat serangkaian momen culture shock bahasa memalukan.  Dan mungkin generasi setelah saya nggak akan punya kesempatan yang sama untuk belajar Indonesia sedalam itu. Sejak lulus MI saya sudah merantau. Dari tsanawiyah sampai aliyah, hidup saya lebih sering di tempat orang. Jadi waktu pertama kali ke Jogja tahun 2014 untuk kuliah, saya merasa sudah kebal dengan segala macam kultur baru. Saya pikir, harga kosan dan manisnya gudeg nggak akan mampu mengg...

Sudah Mau November Lagi: Catatan Tentang Luka, Doa, dan Pulang ke Diri Sendiri

Gambar
Sudah setahun sejak saya ditinggalkan oleh orang yang dulu saya sebut cinta. Sekarang, ketika November hampir datang lagi, saya sadar, ternyata waktu memang guru yang baik. Dulu, saya menghabiskan siang dan malam dengan lagu Bernadya, “ Untungnya, Hidup Harus Tetap Berjalan .”  Di masa itu, setiap lirik terasa seperti tangisan kecil yang menemukan gema. Saya tidak bisa berbuat apa-apa, bahkan mengetik yang biasanya jadi pekerjaan saya, tidak bisa saya lakukan. Saya menghabiskan banyak waktu dengan menangis di sudut-sudut Sekretariat Nasional Jaringan GUSDURian.  Bukan sekadar menyuguhkan kopi. Ini adalah momen saya menemukan arti move on yang sesungguhnya di Jaringan GUSDURian. Beruntung GUSDURian Jogja jadi tempat yang aman untuk pulih. Sekarang, lagu yang sama terdengar seperti senyuman masa lalu penuh ironi tapi hangat.  Ini adalah inti dari belajar dari perpisahan yang sesungguhnya. "Life is a tragedy when seen in close-up, but a comedy in long-shot." — Charl...

Tantangan Menulis Tentang Komunitas dan Budaya Lokal: Catatan Reflektif dari Runduma

Gambar
Esai Bagian 3 dari Seri "Perjalanan Menulis Buku Runduma" (Etika dan Refleksivitas Etnografi) "Yang paling akhir dari sebuah perjalanan adalah pengalaman yang bisa jadi pengamalan." — Mahéng, Runduma: Surga Kecil di Wakatobi Dari Niat Memberdayakan ke Pembelajaran Mendalam Ketika pertama kali berangkat ke Pulau Runduma, saya datang dengan semangat volunteer yang lazim: membawa serta pengetahuan untuk "memberdayakan masyarakat lokal."  Pendidikan formal dan bacaan akademik yang saya miliki membuat saya merasa cukup siap berkontribusi. Namun, Runduma segera mengubah semuanya. Di hadapan realitas kehidupan Runduma saya justru dihadapkan pada kenyataan yang berbeda: saya yang harus belajar untuk lebih "pintar" memahami kehidupan. Pengalaman ini mengajarkan saya tentang positionality dan reflexivity dalam penelitian etnografi.  Posisi saya sebagai outsider (orang luar komunitas...

Proses Riset Lapangan dan Wawancara dalam Menulis Buku Runduma

Gambar
Esai Bagian 2 dari Seri "Perjalanan Menulis Buku Runduma"   Setiap tulisan yang otentik lahir dari telinga yang mau mendengar dengan baik. Dalam penulisan Runduma: Surga Kecil di Wakatobi , riset lapangan menjadi jembatan krusial antara data faktual, pengalaman personal, dan suara masyarakat  yang hidup berdampingan dengan laut.  Proses ini mengubah catatan lapangan menjadi kisah hidup yang membumi serta dapat dipercaya. Artikel ini membedah sebagian kecil metodologi yang saya gunakan di Pulau Runduma, dari merancang riset sosiologis hingga menerapkan etika storytelling , yang secara fundamental membentuk narasi dalam buku. 1. Merancang Riset Lapangan: Dari Peta ke Pulau Tulisan nonfiksi kreatif memerlukan peta penelitian yang fleksibel.  Langkah awal riset bukan hanya menandai koordinat, tetapi memahami sejarah dan struktur sosial yang mendasarinya.  Saya mempelajari bahwa penduduk Runduma berasal dari Tiga ...

Runduma Wakatobi: Menjelajahi Surga Terluka (Catatan Penulis dan Latar Belakang Sosiologis)

Gambar
Esai Bagian 1 dari Seri "Perjalanan Menulis Buku Runduma" Ketika Peta Bicara Lebih dari Koordinat Ada dua alasan mengapa seorang penulis memilih sebuah tempat sebagai latar cerita.  Pertama, karena ia pernah berada di sana—fisiknya menyentuh tanah, matanya menatap horison, telinganya mendengar suara ombak atau angin malam.  Kedua, karena tempat itu punya jiwa yang seolah memanggil, mengajak dialog yang lebih dalam dari sekadar keindahan visual. Wakatobi, khususnya pulau kecil Runduma, menjadi setting buku saya Runduma: Surga Kecil di Wakatobi karena kombinasi kedua alasan tersebut.  Ini bukan pilihan yang lahir dari rekomendasi wisata, tapi dari pengalaman langsung dan refleksi mendalam tentang apa artinya menjadi bagian dari Indonesia. Terutama Indonesia yang jarang terdengar, yang terlupakan. Wakatobi: Di Balik Akronim yang Eksotis Wakatobi adalah akronim dari empat pulau utama: Wangi-Wangi, Kaledupa, ...