Buku Filosofi Teras: Mengapa Filsafat Stoa Relevan untuk Krisis Kesehatan Mental Masa Kini?

Dalam ulasan buku Filosofi Teras ini, saya akan membahas mengapa karya Henry Manampiring telah menjadi salah satu bacaan nonfiksi terlaris, menawarkan panduan praktis dari filsafat Yunani-Romawi Kuno, Stoisisme. 

Popularitas buku ini tidak terlepas dari tingginya kebutuhan masyarakat akan mental tangguh di tengah krisis kesehatan mental yang melanda Indonesia. 

Data Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) tahun 2022 menunjukkan, setidaknya 15,5 juta remaja di tanah air mengalami gangguan kesehatan mental. 

Angka ini memicu diskusi luas tentang mental health dan mental illness

Kesehatan mental, yang diartikan sebagai kondisi sehat untuk mengendalikan emosi, berpikir, dan bertindak baik, ternyata bukanlah isu baru.

Jauh sebelum era modern, pemikir seperti Abu Zaid al-Balkhi (abad ke-IX) dalam Kitab Kesehatan Mental telah menegaskan bahwa obat dari hampir seluruh penyakit mental bersumber dari pikiran manusia itu sendiri, sebuah konsep yang sangat seirama dengan kunci utama Stoisisme: menguasai diri dan pikiran.

Inti Ajaran dalam Buku Filosofi Teras: Konsep Dikotomi Kendali

Apa yang Dimaksud dengan Dikotomi Kendali dalam Filosofi Teras?

Karya fenomenal Filosofi Teras diilhami dari pengalaman pribadi Henry Manampiring yang berjuang melawan Major Depressive Disorder

Ia menemukan jalan keluar melalui Filsafat Stoa setelah membaca buku How to Be a Stoic karya Massimo Pigliucci. 

Inti ajaran Stoa atau teras, yang menjadi sorotan utama dalam buku ini, dan sangat relevan dengan isu kecemasan modern, adalah konsep Dikotomi Kendali.

Epictetus, salah satu filsuf Stoa, dalam bukunya Enchiridion menjelaskan bahwa ada dua jenis peristiwa di dunia:

  1. Peristiwa yang bisa kita kendalikan (pikiran, opini, keinginan, tindakan kita sendiri).
  2. Peristiwa di luar kendali kita (kelakuan orang lain, kondisi alam, opini publik, hasil akhir dari upaya kita).

Stoa mengajarkan bahwa kita menjadi gelisah, cemas, dan tertekan bukan karena peristiwa eksternal, melainkan karena opini atau interpretasi kita terhadap peristiwa tersebut

Semakin kita berusaha mengendalikan hal-hal di luar kuasa kita, akan semakin mudah juga kita merasa tertekan.

Membongkar Kekuatan Persepsi: Pelajaran Penting dari Buku Filosofi Teras

Bagaimana Filosofi Teras Mengubah Pandangan Terhadap "Omongan Orang"?

Dalam Filosofi Teras, Manampiring menekankan pemisahan antara impression (apa yang ditangkap indra) dan representation (interpretasi kita atasnya). 

Filsafat Stoa mengajak kita untuk melihat bahwa:

  • Semua peristiwa itu sebenarnya netral.
  • Yang membuatnya menjadi negatif atau positif adalah persepsi kita.

Dalam ilmu logika (mantiq) dikenal dengan istilah tashawwur (konsepsi) dan tashdiq (penilaian). 

Tashawwur adalah penggambaran kita terhadap sesuatu yang tidak disertai penghukuman. 

Sementara tashdiq itu ialah tashawwur yang disertai hukum, baik secara negatif (al-Nafy) maupun secara afirmatif (al-Itsbat).

Ambil contoh isu "diomongin orang." Peristiwa "diomongin orang" adalah impression yang netral (Tashawwur/Konsepsi). 

Namun, jika kita menginterpretasikannya sebagai "menyebalkan" (Representation/Tashdiq al-Nafy), maka lahirlah emosi negatif. 

Stoa menantang kita untuk mentransformasi interpretasi negatif ini (apatheia), misalnya: "Lumayan diomongin orang, berarti saya cukup hebat sampai mereka membuang energi untuk memperhatikan saya." 

Dengan mengubah persepsi, kita mengubah respons emosional dan mencapai ketenangan batin.

Eksplorasi Filsafat Stoa dalam Buku Filosofi Teras dan Kaitannya dengan Tradisi Pemikiran Islam

Apakah Belajar Filsafat Akan Membuat Seseorang Menjadi Bijaksana?

Permasalahan yang dihadapi manusia modern sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan 2000 tahun yang lalu, yang telah didiskusikan oleh Zeno, Seneca, dan Marcus Aurelius. 

Sampul Buku Filosofi Teras karya Henry Manampiring yang diulas dalam resensi Mahéng Penulis Indonesia.

Kehadiran Filosofi Teras telah memicu gelombang minat terhadap Stoisisme, diikuti oleh buku-buku relevan lainnya. 

Namun, pertanyaan mendasar sering muncul: Apakah belajar filsafat akan membuat seseorang menjadi bijaksana?

Seperti yang dijelaskan oleh Dr. Fahruddin Faiz dalam Ngaji Filsafat, penting untuk membedakan filsafat sebagai metodologi berpikir dengan filsafat sebagai produk pemikiran. Kita mungkin tidak menyukai produk pemikiran tertentu, tetapi kita wajib untuk berpikir dengan benar.

Dalam tradisi pemikiran Islam, pandangan dunia (worldview) yang saya pelajari dari Rausyan Fikr dan karya Muhammad Baqir al-Sadr, mengajarkan bahwa pengetahuan adalah konstruksi dinamis hubungan antara ide dan realitas (disposisi). 

Konsep ini menolak dualitas ekstrem Idealisme (menganggap yang tidak berpikir = tidak ada) dan Materialisme (hanya materi yang ada). 

Filsafat Islam mengajarkan bahwa akal tidak hanya sumber, tetapi juga alat untuk memproses pengetahuan. 

Ini sejalan dengan semangat Stoa yang mengutamakan akal sehat sebagai pengendali emosi.

Mental Dahsyat dari Pola Pikir yang Kuat

Buku Filosofi Teras ini menegaskan bahwa kunci untuk mental tangguh adalah penguasaan diri atas pikiran. 

Baik Al-Balkhi di abad ke-IX maupun Zeno di 301 SM sepakat, bahwa ide yang sehat akan mengubah realitas yang buruk. 

Pola pikir yang kuat, berbasis pada pemahaman Dikotomi Kendali dan kekuatan Persepsi, adalah prasyarat untuk mental yang dahsyat, yang pada gilirannya akan melahirkan hidup yang arif dan bermartabat.

Jika kita mampu mengelola apa yang ada dalam kendali kita (pikiran dan respons kita) dan menerima apa yang di luar kendali kita, maka kita telah memutus rantai kecemasan yang kerap menjadi pemicu mental illness.

Memilih Kebahagiaan, Melatih Ketenangan

Membaca Filosofi Teras bukan soal mencari resep hidup bahagia, tapi cara baru melihat kenyataan tanpa terseret olehnya. Buku ini mengingatkan kita bahwa kekuatan bukan berarti tidak terguncang, tapi tetap jernih di tengah kekacauan. 

Nilai sejatinya ada pada kesadaran kecil yang kita ulang setiap hari seperti memilih apa yang pantas dipikirkan, dan melepaskan sisanya.

Karena pada akhirnya, ketenangan bukan sesuatu yang ditemukan, melainkan sesuatu yang kita latih dengan penuh perjuangan.

— Mahéng. Penulis fiksi dan nonfiksi. Penggerak GUSDURian Jogja. Sering mengembara, jarang sampai, tapi selalu bawa pulang cerita.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahéng: Arti Sebuah Nama dan Perjalanan Menemukan Diri

5 Teknik Kunci Menguasai Struktur Naratif Fiksi dan Non-Fiksi untuk Pemula

Tujuh Tahun, Tiga Penerbangan, dan Satu Gampong yang Berubah