Mau Bertemu Orang yang Tepat? Atur Frekuensi Dirimu!

Pada suatu titik, saya mulai menyadari bahwa lingkaran pertemanan tidak hanya soal siapa yang berada di sekitar kita, tetapi juga siapa kita di dalamnya. 

Kita sering berharap dipertemukan dengan orang yang mengerti, tanpa benar-benar bertanya apakah kita sudah menjadi sosok yang layak dimengerti.

Kesadaran itu muncul dari sebuah siang yang sederhana di Taman Margasatwa Ragunan. 

Setelah berkeliling Ragunan Nike bilang ingin bertemu temannya di sekitar Cipete. Saya sempat mengingatkan jaraknya yang cukup jauh, lalu menawarkan tempat yang lebih dekat di Jakarta Selatan. 

Setelah diskusi yang tidak saya dengar, temannya setuju bertemu di sebuah kafe dekat pintu masuk Ragunan.

Belakangan saya tahu bahwa teman itu adalah Hasbi Ilman, layouter buku yang baru saya tulis, The Power of Mama judulnya.

Kami belum pernah bertemu secara langsung, meski sudah lama saling mengikuti di media sosial. Hubungan kami hanya sebatas saling menyentuh lewat like di story, tanpa percakapan apa pun.

Saat tahu itu Hasbi, saya memutuskan ikut. Ada rasa enggan melewatkan perjumpaan dengan seseorang yang selama ini hanya hadir sebagai nama di layar. Tapi sangat bermakna dalam perjalanan menulis saya.

Ada hal-hal dalam hidup yang seringkali datang begitu saja, seperti perjumpaan yang terasa terlalu selaras untuk dianggap kebetulan. Seakan dunia mengecil hanya untuk membawa kita ke titik yang sama.

Orang sering bilang, termasuk saya, “kayaknya dunia sempit ya.” Sesekali memang terasa begitu.

Buat banyak penulis atau pekerja yang mencintai semesta, pengalaman seperti itu sering muncul ketika mereka memilih jalan hidup yang spesifik. 

Di perjalanan, entah di lereng gunung atau di warung kopi kota kecil, kita bertemu seseorang yang rasanya seperti bercermin. Sama-sama menyukai sesuatu. Sama-sama nyaman dalam sunyi. Sama-sama peka pada detail kecil yang mudah luput dari mata orang lain. Sefrekuensi.

Lalu muncul pertanyaan apakah semua ini adalah takdir, bentuk spiritualitas seperti Law of Attraction, atau sekadar kebetulan semata.

Saya ingin melihatnya sebagai irisan dari tiga hal: upaya proaktif, bias kognitif, dan kebutuhan manusia untuk memberi makna.

Upaya Sadar: Ruang yang Kita Bentuk Sendiri

Upaya sadar, atau proaktivitas dalam istilah Stephen Covey, sering menjadi fondasi bagi perjumpaan yang terasa tepat. 

Fenomena sefrekuensi yang mencakup kesamaan nilai, cara pandang, hingga gaya komunikasi, biasanya lahir dari langkah-langkah yang kita pilih sendiri.

Jika seseorang menyebut dirinya penulis yang mencintai kambing guling atau pejalan yang mencari udara dingin, ia sebenarnya sedang membentuk peta sosialnya sendiri. 

Pilihan-pilihannya, apakah ke kebun binatang atau ke toko buku atau ke tempat yang membuatnya merasa hidup, perlahan mengatur siapa saja yang mungkin ia temui.

Dalam filsafat eksistensial, pandangan ini sejalan dengan gagasan kehendak bebas.

Sartre pernah bilang bahwa manusia "terkutuk untuk memilih"  dan setiap pilihan membawa konsekuensinya sendiri. Termasuk keputusan yang tampak sederhana seperti memilih destinasi perjalanan atau menerima undangan minum kopi. 

Pertemuan yang muncul di sana sering menjadi hasil dari arah yang telah kita ambil sebelumnya.

Filter Kognitif: Cara Pikiran Menyulam Pola

Pertanyaan berikutnya adalah mengapa pertemuan sefrekuensi terasa begitu sering dan begitu pas. Di sini, otak kita berperan penting. Ia ahli mengubah kebisingan menjadi pola.

Bias konfirmasi membuat kita lebih mudah mengingat pertemuan yang mendukung keyakinan kita dibanding hal yang bertentangan. 

Eksposur selektif membuat kita cenderung memilih tempat yang selaras dengan minat kita. Persepsi selektif membuat kita menangkap sinyal kecil, seperti buku di tangan seseorang atau kamera yang harganya lebih mahal dari tiket umroh, lalu menjadikannya tanda bahwa orang itu berada di jalur yang sama.

Kombinasi semua itu dapat menimbulkan kesan bahwa dunia lebih sering mengatur perjumpaan daripada yang sebenarnya terjadi. 

Otak kita mengangkat momen-momen tersebut ke permukaan dan membentuk narasi bahwa ada pola, meski statistiknya mungkin biasa saja.

Sinkronisitas: Kebetulan yang Kita Beri Jiwa

Ilmu kognitif membantu kita memahami prosesnya, tetapi tidak menyentuh seluruh pengalaman batin. Ada ruang yang lebih halus dalam diri manusia yang selalu berusaha memberi makna. 

Jung menyebutnya sinkronisitas, yaitu hubungan tanpa sebab antara dua peristiwa yang terasa saling berkait di dalam batin.

Ketika bertemu seseorang di puncak gunung yang menyukai hal yang sama, hal itu mungkin bukan sebab-akibat, tetapi gema dari kondisi internal kita. 

Law of Attraction, dalam bentuk yang tenang dan tidak dilebih-lebihkan, hanya menekankan bahwa keyakinan dan tindakan yang selaras dapat membawa kita ke arah tertentu. 

Sinkronisitas memberi warna emosional. Upaya sadar memberi struktur. Filter kognitif memberi konteks.

Ketiganya bekerja bersama.

Sefrekuensi sebagai Cermin Diri

Selfie penulis Maheng, Nike, dan layouter buku Hasbi saat pertemuan sefrekuensi di kafe dekat Ragunan.

Pada akhirnya, pertemuan sefrekuensi bukan semata-mata hadiah dari takdir. Pertemuan itu sering menjadi titik temu antara pilihan, psikologi, dan cara kita memberi makna pada hidup dan pada diri sendiri.

Kita bertemu orang tertentu karena arah hidup yang kita pilih membawa kita kepada mereka. 

Kita merasakan kedekatannya karena pikiran kita mengenali pola yang selaras. Kita menghargainya karena kita memberi makna pada resonansi yang muncul.

Mungkin tugas kita bukan menunggu frekuensi datang. Mungkin yang lebih penting adalah menata frekuensi diri dengan cukup jernih agar ia memantulkan orang-orang yang serupa. 

Dalam bahasa yang lebih sederhana, jika ingin bertemu orang yang tepat, termasuk pasangan hidup, kita perlu menjadi versi diri yang juga ingin kita temui.

Kata orang bijak, jangan perlakukan orang lain sebagaimana kamu tidak ingin diperlakukan. Sering kali, frekuensi dimulai dari sana.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.