Dari Ladang ke Strasbourg: Refleksi tentang Alam, Budaya, dan Perempuan
Selain vigna sinensis, saya menanam beberapa jenis sayur
mayur seperti kecipir. Di Sumatera, dikenal dengan kacang botol. Ada juga
mentimun, kunyit, jahe, singkong, terong hingga cabai dan tomat. Ada yang
tumbuh, ada pula yang sekarat.
Ada yang berakar tunggang dan berdiri kokoh, ada pula yang
merambat. Ada yang diganggu ayam, ada yang diganggu lalat.
Terlebih lagi, saya percaya bahwa setiap makhluk hidup di muka bumi bertasbih memuji Tuhan, termasuk tumbuh-tumbuhan. Bila kamu pernah, atau akan, belajar filsafat, kamu akan berjumpa dengan istilah antroposentrisme.
Antroposentrisme adalah paham bahwa manusia adalah spesies paling pusat dan penting daripada alam semesta ini.
Ego manusia ini lantas meluluhlantakkan eco.
Manusia menganggap berhak melakukan apa pun di dunia bahkan termasuk mengeksploitasi alam, pembalakan liar. Alam yang sakit menyebabkan ekosistem menjadi nggak stabil, ketika alam mengamuk, manusia menyebutnya bencana.
Baru-baru ini viral seorang petugas Balai Besar KSDA Riau Afni Zulkifli yang memarahi anggota masyarakat Kecamatan Pangkalan Kuras, Kabupaten Pelalawan yang marah karena lahannya dirusak gajah.
Afni menjelaskan bahwa tanah yang dialihfungsikan menjadi kebun tersebut sejatinya merupakan rumah gajah.
"Bukan gajah yang masuk ke desa-desa bapak, tapi desa dan kebun bapak yang masuk ke rumah gajah."
Untuk yang belum tahu, gajah melewati rute yang sama selama bertahun-tahun. Ingatan gajah begitu kuat, sehingga ada ungkapan ‘ingatan seperti gajah.’ Gajah cenderung melewati jalur yang sama selama bertahun-tahun mengindikasikan bahwa ingatan itu akan diwariskan dari generasi ke generasi.
“Dunia ini cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia, bukan untuk memenuhi keserakahan manusia,” ujar Mahatma Gandhi.
MENTARI LAGI-LAGI enggan menunjukkan sinarnya pagi ini di Padukuhan Kadirojo. Hampir setiap pagi Kadirojo dipadati oleh kabut.
Embun menyapa membasahi dedaunan jagung yang sedang meninggi, dua piyik nggak lupa datang menyapa. Kadang bikin saya kesal, kadang juga bikin ketawa. Kamis 16 Maret 2023, meskipun mendung tapi berdasar prakiraan cuaca malah menunjukkan panas menyengat hingga 31 derajat.
Dua panggilan nggak terjawab tertera di layar gawai.
Salah satunya mengaku sebagai kurir ekspedisi. Saya bergeming sembari langsung menghubunginya kembali.
“Mas ini ada paket untuk Mahéng.”
Saya segera meninggalkan kebun sederhana seluas 5×1,5 meter. Maklum, kurirnya belum pernah mengantarkan paket ke alamat saya, lantas saya harus menavigasikannya agar kami dapat bertemu di titik yang tepat.
Saya sadar indekost yang saya tempati relatif luas namun harus masuk ke gang sempit, itu akan mempersulit kurir baru. Lalu saya arahkan kurir untuk bertemu di tempat yang mudah diakses.
Perkenalan dengan Ester, bikin saya semakin penasaran dengan Prancis, kenapa di negara ini, selain menghasilkan budaya yang hebat juga melahirkan filsuf-filsuf besar, termasuk filsuf perempuan.
Ester juga memperkenalkan saya dengan Manon Garcia. Manon adalah seorang filsuf Perancis, yang mengkhususkan diri dalam filsafat feminis. Bukunya We Are Not Born Submissive telah diterjemahkan selain bahasa Inggris ke dalam beberapa bahasa lain, termasuk Jepang, Cina, Korea, Jerman dan Spanyol.
Buku Manon yang menarik perhatian saya adalah La Conversation des Sexes karena buku inilah saya belajar bahasa Prancis. Saya merasa kurang puas jika harus baca buku terjemahan, termasuk karya-karya Descartes kebanyakan terjemahan.
Saya pengen membaca langsung dari bahasa utamanya untuk menghindari bias.
Manon membahas tentang persetujuan seksual (consentement sexuel) dalam sebuah hubungan. Hal ini sangat related dengan apa yang sedang saya alami kala itu, ketika empat orang teman melakukan tindak kekerasan seksual.
Mereka berdalih, si perempuan ‘nggak melawan’ dan juga menikmati. Artinya si penyintas sudah menyetujui dengan apa yang diinginkan pelaku.
Seperti apa yang disinggung Manon, Le problème juridique, bien connu de celles et ceux qui suivent l’actualité, peut être résumé ainsi: que faire pour que les cas de viol, d’agression et de harcèlement sexuels soient efficacement punis ?
Apa yang harus dilakukan agar kasus perkosaan, penyerangan dan pelecehan seksual dihukum secara efektif?
Saat itu, banyak sekali kasus kekerasan seksual yang diabaikan. Salah satu faktornya adalah ketiadaan hukum (Le problème juridique) yang dapat menghukum penjahat kelamin secara setimpal.
Dari sana lahirlah gerakan yang menginiasiasi Rancangan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS).
RUU ini kemudian disahkan secara resmi menjadi Undang-Undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dalam Sidang Paripurna DPR RI, Selasa 12 April 2022, di Jakarta.
Seperti apa yang dipertanyakan oleh Manon, le problème politique: comment ne pas reconduire les injustices de genre qui se manifestent dans les rapports amoureux et sexuels ?
Di Indonesia, isu pengarusutamaan gender nggak lagi sebatas isu politik, ada baluran agama (mungkin tepatnya pemahaman agama) yang membuat isu ini kian runyam.
Namun, kami terbiasa meng-counter dengan pemahaman agama juga. Sebagai muslim, saya juga sering mendengar hadits Nabi yang berasal dari pertanyaan seorang sahabat. “Ya Rasul, siapakah orang yang harus aku hormati di dunia ini?” Rasul menjawab, “Ibumu.” Kemudian dia bertanya lagi, “Lalu siapa?” Rasul menjawab, “Ibumu.” “Kemudian lagi, ya Rasul,” tanya orang itu. “Rasul menjawab, “Ibumu.”
Lalu, laki-laki itu bertanya lagi; “Kemudian, setelah itu siapa, ya Rasul?” “Bapakmu,” jawab Nabi. Makanya ada istilah surga di bawah telapak kaki ibu.
Berdasarkan Catatan Tahunan (CATAHU) 2023 Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan terdapat peningkatan angka pengaduan langsung Kekerasan terhadap Perempuan ke Komnas Perempuan dari 4.322 kasus di Tahun 2021 menjadi 4.371 kasus di sepanjang Tahun 2022.
Data pengaduan ke Komnas Perempuan dibagi menjadi 3 ranah: ranah personal terdapat 2098 kasus, ranah publik 1276 kasus dan ranah negara 68 kasus. Kekerasan personal paling dominan setiap tahunnya.
Dengan jumlah ini berarti rata-rata Komnas Perempuan menerima pengaduan kasus kekerasan terhadap perempuan sebanyak 17 kasus per hari.
SETELAH PROSEDUR SERAH TERIMA dengan kurir selesai, saya meraih paketan yang berbungkus kado tersebut. Saya raih gunting yang terhampar di keranjang, perlahan saya buka dengan gemetaran.
Benar saja, isinya buku, meskipun ada paket kesasar ikut-ikutan nyempil dalam bungkusan.
Speechless, je suis sans voix.
Saya ambil gawai dan memotret beberapa kali sebagai laporan bahwa paket sudah diterima dengan baik.
Biar foto yang berbicara karena mulut sudah nggak mampu berkata, nggak sanggup bersuara. Diam terpaku seakan nggak percaya, nggak berdaya hilang tenaga. Terduduk lesu dan bahagia, di meja kerja terdiam seribu bahasa.
Memang, ini bukan paket pertama dari Eropa. Sebelumnya saya dihadiahi jaket gunung oleh seseorang di Belanda. Ia seperti menyiratkan pesan, “Nanti kita ketemu di Strasbourg, kamu pakai jaket ini ya!”
Saya senang di sini (di imaji) bersama mereka, saya ingin bertemu baik dalam mimpi pun di dunia nyata. Baik di dunia maupun di alam setelahnya. Semoga kami bisa bertemu, bertegur sapa, bertutur dan bercerita, bercanda tawa lepas bahagia, sampai jagung-jagung yang saya tanam ikut terpesona.
Karena pada umur yang hampir kepala tiga (sebenarnya saya sendiri punya banyak kepala, yang belum kepala keluarga aja) banyak berseliweran tuntutan sosial dan pemenuhan ekspektasi yang terkadang memang nggak masuk akal.
Kita memang nggak harus hidup atas dasar Fakta Sosial, meminjam istilah Emile Durkheim (1858-1917 M) sekira abad ke-19 dalam bukunya Rules of Sociological Method, bahwa tindakan dan pola pikir kita dibentuk oleh pola dan lingkungan masyarakat setempat.
Durkheim memang nggak sepenuhnya salah, karakter seseorang umumnya dibentuk oleh lingkungan. Akan tetapi saya lebih sependapat dengan Maximilian Weber (1864-1920), bahwa individu (atau kita sendiri) yang harus mengubah fakta sosial tersebut.
Weber bilang ini tindakan sosial.
Kalau kamu masih bingung, apa itu fakta sosial, mungkin dapat diilustrasikan seperti circle pertemanan.
Kalau circle pertemananmu isinya orang-orang yang punya mindset yang baik, maka menurut Durkheim itu akan membentuk pola pikirmu membaik pula, dan demikian juga sebaliknya. Tapi menurut Weber justru jika kamu tahu circle pertemananmu bermasalah, kamu bisa mengubahnya dimulai dari dirimu sendiri.
Bagaimana cara kita tahu circle kita bermasalah atau enggak? Untuk menjawabnya coba renungin apa yang disampaikan oleh Eleanor Roosevelt yang saya terjemahin secara serampangan, kira-kira bunyi bahasa Indonesianya begini:
Lingkaran pertemanan yang berkualitas pembahasannya adalah tentang ide-ide. lingkaran yang biasa aja berbicara tentang kejadian sekitar, basa basi. Dan lingkaran yang buruk berbicara tentang aib orang lain (gosip) atau circle lain.
Kalau enggak ketemu circle yang berkualitas, bagaimana? Kita bisa mengaminkan ide dari Weber: Bikin.
Catatan: Esai ini merupakan repubikasi dari tulisan saya yang pertama kali tayang di blog lama pada 23 Maret 2023. Versi ini telah diperbarui untuk penyuntingan ringan tanpa mengubah substansi cerita.

Komentar
Posting Komentar