Refleksi Aktivisme: Dramaturgi Politik, Aksi Massa Tan Malaka, dan Perjalanan Jogja-Cilacap

CUACA malam ini tidak terlalu mendukung untuk berlalu-lalang di luar rumah. Angka pasien Covid-19 masih tumbuh. 

Sekilas cuaca di langit terlihat mendung dan dingin. Jalan di gang-gang sempit masih becek bekas hujan. Sabtu 10 Oktober 2020 kami meninggalkan kota Yogyakarta.

Setelah bergantian membasuh badan, kami bergegas menaiki Elf Microbus yang sudah dibooking sejak siang. Saya sendiri lebih memilih posisi di kursi tengah, paling tidak di belakang sopir. Terlalu ke belakang bisa bahaya. 

Saya akan mengeluarkan beberapa kantong cairan.

Kami mulai beranjak sekitar pukul 02.15 dini hari. Dalam ingatan saya paling tidak ada sekitar 14 orang dalam Microbus itu. Karena tinggal serumah, kami rasa tidak perlu menjaga jarak. Toh di rumah juga satu meja makan.

Dalam Microbus yang gelap tampaknya hanya saya yang susah tidur malam. Orang macam saya tidak bisa tidur secara 'normal' seperti manusia kebanyakan. Karena sejak menjadi jurnalis, saya 'dilatih' untuk tidak banyak tidur. 

Tapi tidak semua jurnalis begitu, kok.

Diiringi musik koplo, saya mengecek beberapa pesan yang hinggap. Hingga tiba pada satu pesan yang buat saya tersentak.

Aksi Massa, Putch, dan Polemik Pembakaran Fasilitas

Sebuah pesan masuk yang mempertanyakan pendapat saya tentang aksi kemarin. Dialog tersebut membawa saya pada refleksi mendalam tentang aksi massa dan teori-teori yang mendasarinya.

"Mahéng, apa pendapatmu tentang aksi kemarin?"

"Sepenuhnya aku mendukung," jawab saya singkat.

"Lalu, bagaimana dengan proses bakar membakar itu, halte-halte sudah seperti ikan saja banyak yang terpanggang."

Saya sempat terdiam, dalam hati mau saya jawab: 'halte-halte itu dibangun dari hasil pembakaran juga, baik pembakaran hutan di Kalimantan, penggusuran atas nama pembangunan, atau yang terbaru apa yang dialami warga Kinipan.'

"Tidak masalah, toh itu fasilitas yang dibeli dari uang rakyat juga. Kalau kita mau bakar milik kita apa salahnya?."

"Kalau pemerintah menganggap itu anarkis, hanya karena membakar beberapa fasilitas, lalu kita harus menyebut pemerintah apa yang menggusur ribuan rumah?."

Tan Malaka dan Teori Aksi Massa

Tan Malaka dalam bukunya Aksi Massa pernah mengingatkan bahwa kehadiran tukang putch dalam sebuah aksi massa akan merusak tidak hanya visi yang dicapai oleh aksi tersebut melainkan juga merusak fasilitas yang ada.

"Putch itu adalah satu aksi segerombolan kecil yang bergerak diam-diam dan tak berhubungan dengan rakyat banyak. Gerombolan itu biasanya hanya membuat rancangan menurut kemauan dan kecakapan sendiri tanpa memedulikan perasaan dan kesanggupan massa."

"Aksi-massa tidak mengenal fantasi kosong seorang tukang putch atau seorang anarkis atau tindakan berani dari seorang pahlawan. Aksi-massa berasal dari orang banyak untuk memenuhi kehendak ekonomi dan politik mereka."

— Tan Malaka, Aksi Massa, halaman 4

Pertanyaan selanjutnya adalah aksi bakar membakar itu adalah ulah tukang putch atau memang direncanakan oleh koordinator umum (kordum) aksi?

Mungkin ada sebagian kecil dari jutaan massa aksi itu yang berpedoman pada saran-saran Tan Malaka, terbukti dari Polda Banten yang menyita buku Tan Malaka berjudul Menuju Merdeka 100 Persen dari salah satu mahasiswa yang ditangkap, saat menggelar aksi unjuk rasa di depan kampus UIN Sultan Maulana Hasanudin (SMH) Banten, Selasa, 6 Oktober 2020 lalu.

Pengorganisiran: Kalah atau Menang

Dalam buku Mengorganisir Rakyat karya Jo Hann Tan dan Roem Topatimasang, mereka mengingatkan bahwa pengorganisiran bukan masalah salah dan benar, tapi pengorganisiran itu adalah kalah dan menang.

Yang terjadi sekarang adalah banyak aktivis yang tidak memahami dasar-dasar keaktivisannya itu sendiri sehingga ketika turun aksi banyak yang kalang kabut, tidak siap dan akhirnya ditangkap oleh aparat.

Ada pula yang ditanya jurnalis, "ini aksi apa."

"Katanya (kata kakak senior) tolak omnibus law."

Saya sendiri berharap jurnalis juga tanya ketika DPR atau Pemerintah bilang ada "aktor intelektual" di balik suatu aksi demonstrasi. Jurnalis bermutu harus bertanya "Apa buktinya?"

Kalau pejabat itu tidak mampu beri bukti, harus ditambah frasa "tanpa bukti" dalam penulisan beritanya.

Kembali lagi kepada aktivis yang kebingungan tadi, lain lagi dengan para aktivis hak asasi manusia yang sibuk dengan urusan-urusan advokasi. Dan para massa aksi sendiri sibuk tiarap agar tidak tertangkap lagi.

Sehingga apa yang selama ini diperjuangkan kehilangan fokus karena semua energi terbuang ke tempat yang tidak seharusnya.

Perubahan Mantan Aktivis dan Teori Dramaturgi

Terlebih, pemangku kepentingan yang duduk di kursi saat ini (baca: DPR dan Pemerintah) adalah mantan aktivis. Jadi otomatis mereka sudah membaca pola gerakan mahasiswa yang dulu juga mereka geluti.

Kalau saya salah silahkan dikoreksi.

Paulo Freire: Yang Penindas Adalah Juga yang Tertindas

Adalah Paulo Freire yang terkenal berkat bukunya Pendidikan Kaum Tertindas pernah berujar, bisa jadi dia yang penindas adalah juga yang tertindas.

Siapa yang menindas anggota dewan yang terhormat dan pemerintah itu? Bisa jadi uang dan bisa jadi orang yang beruang (baca: investor).

Bisa jadi apa yang disinggung oleh Mahfud MD terkait UU titipan benar adanya.

"Problem kita itu sekarang dalam membuat aturan hukum itu sering kacau balau, ada hukum yang dibeli, pasal-pasalnya dibuat karena pesanan itu ada."

"UU yang dibuat karena pesanan, perda juga ada, disponsori oleh orang-orang tertentu agar ada aturan tertentu."

— Mahfud MD, Temu Kebangsaan Gerakan Suluh Kebangsaan, 19 Desember 2019

Intermezzo: Subuh di Banyumas

Microbus yang kami tumpangi mulai memasuki kabupaten Banyumas. Sekira pukul 05.30 pagi, cuaca dingin menusuk tulang. Pak sopir menghentikan laju kendaraannya.

"Siapa yang mau salat subuh?," tanya pak sopir.

Semua terdiam.

"Siapa yang mau buang air?," semua mengacungkan jari.

Microbus berhenti di tepian sebuah masjid. Sebagian memilih salat subuh, sebagian yang lain buang air, dan sebagian juga ada yang mandi di tengah cuaca berkabut.

Manifestasi Perjuangan: Foto kondisi jalan menuju cilacap dari jogja, perjalanan bukan sekedar mengayunkan langkah kaki.
Perjalanan bukan sekadar mengayunkan langkah kaki,
ia adalah manifestasi dari sebuah perjuangan.

Kebutuhan vs Kewajiban

Benar adanya bahwa manusia lebih mengutamakan kebutuhannya ketimbang kewajiban yang harus dilaksanakannya.

Itulah mengapa para pemangku kepentingan di negara ini lebih mendahulukan isi perutnya ketimbang memenuhi kewajiban melayani rakyat.

Kritik Organisasi Mahasiswa dan "Politik Belah Bambu"

Tidak usah jauh-jauh ke mantan aktivis (baca: DPR dan Pemerintah) yang kini jadi penindas itu, berapa banyak organisasi mahasiswa yang mengubah laporan keuangan dengan dalih "dana operasional organisasi"?

Lebih lanjut berapa banyak organisasi (mahasiswa) yang dalam mobilisasi organnya tidak seirama dengan tugas pokok dan fungsinya?

Bisa jadi pemimpin umum merangkap segala jabatan, sehingga keluar anekdot pembantu umum.

Ya wajar bila mereka yang tadinya mantan aktivis dalam mengelola negara banyak terpengaruh dari organisasi yang membentuk mereka.

Kekacauan Tugas dan Fungsi Negara

Ambil contoh, Polisi yang merangkap Humas Pemerintah. Contoh lain, sebelum ini misalnya, pemerintah malah menugaskan Menteri Pertahanan menangani pangan, lalu Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi menangani hot spot area dan pandemi COVID-19.

Pada akhirnya ini menimbulkan kekacauan tugas dan fungsi kementerian atau lembaga dan menurunkan performa mereka sendiri. Sama seperti organisasi mahasiswa yang susah berkembang karena one man show tadi.

Yang terjadi selanjutnya adalah organisasi sepi, kaderisasi gagal dan berujung pada rebutan kader. Bahkan ada yang memilih jadi underbow parpol atau ormas tertentu.

Politik Belah Bambu dan Konflik Horizontal

Ada yang menuduh – tanpa menunjukkan bukti – fenomena ini disebut politik 'belah bambu'. Satu diinjak, satu diangkat. Apa akibatnya? Ya paling dekat ya konflik horizontal.

Sama dengan aksi massa beberapa hari lalu, massa aksi malah baku hantam sama aparat. Bahkan salah satu aparat kepolisian berujar, "saya juga rakyat mas, saya ada NPWP dan dipotong gaji saya untuk pajak," lebih kurang begitu redaksinya.

Narasi itu dibangun setelah banyaknya 'tuduhan' bahwa perangkat 'pengamanan' aksi dibeli dari uang rakyat.

Pada dasarnya, Polisi adalah salah satu perangkat dari struktur pemerintahan. Tapi apakah itu target dan sasaran massa aksi?

Apakah konflik antara aparat dan massa aksi sengaja dibangun, sehingga isu yang berkembang kemudian berubah menjadi dua?

Polisi menuduh massa anarkis, dan massa aksi menuduh polisi represif.

Yang diuntungkan siapa? Ya – menurut subjektif saya – yang buat undang-undang. Fokus massa akan terpecah pada isu-isu advokasi lagi. Membebaskan aktivis yang ditangkap misalnya.

MICROBUS kami akhirnya sampai di Sideran Tambakreja di Cilacap. Suasana ceria bikin desa ini buat pengunjung betah. Mulai dari sebuah selokan yang bersih, tembok bercak warna warni, hingga dinding rumah yang dilukis dengan pesan-pesan dan kritik sosial.

Kegiatan Padat Karya melalui Program Kota Tanpa Kumuh (Kotaku) di Kelurahan Tambakreja yang dicanangkan pemerintah pada Maret 2020 lalu nampaknya telah menyulap desa ini.

Suasana di Jl Sirkaya, Sideran, Tambakreja, Cilacap. Foto Dokumentasi Maheng

Bila anda berkunjung ke sini jangan lupa kunjungi Benteng Pendem Cilacap dengan jarak tempuh berkisar 5 kilometer atau sekitar 10 menit perjalanan menggunakan kendaraan roda dua.

Benteng Pendem Cilacap (bahasa Belanda: Kustbatterij op de Landtong te Cilacap), adalah benteng peninggalan Belanda di pesisir pantai Teluk Penyu kabupaten Cilacap, Jawa Tengah yang dibangun pada tahun 1861.

Bangunan ini merupakan bekas markas pertahanan tentara Hindia Belanda yang dibangun di area seluas 6,5 hektare secara bertahap selama 18 tahun, dari tahun 1861 hingga 1879.

Tentu saya ke sini bukan untuk mengunjungi Benteng Pendem Cilacap, melainkan untuk menghadiri pernikahan teman saya yang diselenggarakan secara sederhana dengan protokol kesehatan lengkap – masker dibuka hanya saat ambil gambar.

Setiap orang boleh mengekspresikan kebahagian dengan caranya masing-masing, asalkan tidak menggangu kebahagiaan orang lain. Dokumentasi Maheng

Saking sederhana pernikahan itu, tidak banyak warga yang berduyun datang. Rumah mempelai wanita juga tidak terlalu banyak hiasan. Sehingga tulisan "Hutan Sumber Kehidupan" terpampang jelas di sudut tembok.

Dramaturgi: Sandiwara Kehidupan Politik

Saya menutup gawai, bukan karena kehabisan daya, tapi untuk menutup drama berbangsa dan bernegara yang seruwet ini.

Dalam dunia pendidikan ilmu sosial fenomena ini disebut dramaturgi.

Goffman memperkenalkan dramaturgi pertama kali dalam kajian sosial psikologis dan sosiologi melalui bukunya, The Presentation of Self In Everyday Life.

Teori dramaturgis menjelaskan bahwa identitas manusia adalah tidak stabil dan merupakan setiap identitas tersebut merupakan bagian kejiwaan psikologi yang mandiri.

Identitas manusia bisa saja berubah-ubah tergantung dari interaksi dengan orang lain. Disinilah dramaturgi masuk, bagaimana kita menguasai interaksi tersebut.

Teori ini menggambarkan sebuah sandiwara saat seseorang ataupun sekelompok orang tersebut berperan bukan berdasarkan kepribadiannya melainkan berdasarkan kondisi yang ada dan memanfaatkan peranan yang ia miliki.

Front Region dan Back Region

Simpelnya begini – sebenarnya teori ini panjang, ada front dan back region. Front nya mencakup setting, personal front (penampilan diri), expressive equipment (peralatan untuk mengekspresikan diri). Sedangkan back nya mencakup semua kegiatan yang tersembunyi untuk melengkapi keberhasilan acting atau penampilan diri yang ada pada front.

Kamu menjadi mahasiswa yang kritis itu adalah disebabkan oleh lingkunganmu yang kritis (di organisasi tertentu misalnya), tapi ketika kamu masuk ke dalam lingkungan yang penuh dengan sandiwara, misalnya dunia politisi perilakumu juga akan menyesuaikan.

Inilah mengapa, para aktivis yang sekarang menjabat di DPR dan pemerintahan perilakunya berubah menyesuaikan dengan kondisi lingkungan di sana – dan bisa jadi juga ketika di dunia aktivis dulu mereka bersandiwara (baca: pansos).

Sehingga kamu akan sering mendengar kalimat, "kritis itu cukup saat mahasiswa saja, setelah kamu punya keluarga, kamu butuh makan."

Mungkin begitu?

 | Perjalanan Yogyakarta - Cilacap

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahéng: Arti Sebuah Nama dan Perjalanan Menemukan Diri

5 Teknik Kunci Menguasai Struktur Naratif Fiksi dan Non-Fiksi untuk Pemula

Tujuh Tahun, Tiga Penerbangan, dan Satu Gampong yang Berubah