Branta, Pelabuhan Seratus Miliar yang Jadi Ruang Sunyi bagi Nelayan Madura
Seratus miliar rupiah.
Itu adalah biaya fantastis yang konon telah ditelan oleh pembangunan Pelabuhan Kelas III Branta di Pamekasan sejak 2003.
Angka sebesar itu terukir dalam ingatan, kontras dengan bangunan yang tampak nggak seberapa megah di depan mata saya. Di balik tembok beton yang memicu perdebatan anggaran itu, pelabuhan ini tetap menjadi titik temu.
Buat kami, ia adalah tempat melepas penat senja. Buat warga sekitar, ia adalah satu-satunya urat nadi: tempat para nelayan menggantungkan harapan.
DI ANTARA hiruk-pikuk kota Pamekasan di Pulau Garam, sebuah pelabuhan menjadi tempat favorit bagi muda-mudi untuk memancing, termasuk memancing perasaan.
Di pintu masuknya tertulis Pelabuhan Kelas III Branta.
Lokasinya nggak jauh dari IAIN Madura, tepatnya di Desa Branta Pesisir, Kecamatan Tlanakan, Pamekasan, Madura.
Proses pembangunannya, pelabuhan ini telah menelan biaya setidaknya seratus miliar rupiah – versi Koran Madura – sejak 2003 silam.
Sempat mangkrak setelah menelan biaya hampir mencapai tiga puluh miliar rupiah yang disedot dari APBD Provinsi Jawa Timur, pada medio 2012, pemerintah pusat mengambil alih pekerjaan dengan menelan biaya hingga lima puluh miliar.
Pembangunannya dilanjutkan lagi pada 2013 dan menelan biaya hingga dua puluh miliar. Duit semua itu.
Merupakan salah satu pantai yang cukup eksotis di Pamekasan. Meskipun bangunannya tampak nggak terlalu megah, dan nggak difokuskan untuk wisata tentunya.
Kendati demikian, jika kamu tetap "ngotot" untuk menutup sore dengan pasangan atau teman kamu di sini, cukup membayar retribusi sebesar lima ribu rupiah kepada petugas di pintu gerbang.
Termasuk saya dan sekumpulan remaja yang rindu akan indahnya alam memutuskan untuk menghabiskan beberapa batang rokok sembari menikmati sinar surya yang hendak pergi.
Setelah menempuh perjalanan nggak lebih dari 15 menit dari IAIN Madura, kira-kira pukul tujuh belas sore.
Sebagai generasi milenial, ritual pertama adalah meraih gawai untuk mengabadikan momen di akun sosial media.
Kecuali saya, lebih memilih memandangi barisan perahu nelayan yang berjejer rapi.
Sekumpulan bocah juga menghiasi pandangan saya. Mereka sibuk melompat-lompat di dalam air minta difoto.
Salah satu teman saya, Faruq cerita, bahwa mayoritas penduduk di bibir pantai ini berprofesi sebagai nelayan.
“Biasanya mereka berangkat dan baru pulang tiga hari sekali,” katanya.
Menurut penuturan Faruq, nelayan di sini biasanya sekali melaut berhasil mengumpulkan pundi-pundi rupiah tiga hingga lima juta.
“Kalau ikannya lagi liburan, ya nelayan akan merugi,” sambungnya lagi.
ANGIN menderu kencang, ombak pecah di bibir pantai. Sungguh saya merasakan kedamaian.
Nggak ada orang yang berwajah muram, semua bersemangat dengan gawainya hingga saya tergoda untuk mengabadikan beberapa momen.
“Saya juga ingin difoto,” pinta saya nggak sabaran.
Nggak terasa azan Magrib berkumandang, perahu nelayan mulai menepi. Kami harus beranjak pulang. Namun, seratus miliar bagi saya terlalu mahal untuk bangunan nggak seberapa mewah ini.
Terlebih Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Pamekasan baru merencanakan memanfaatkan Pelabuhan Kelas III Branta sebagai sarana untuk mendongkrak potensi wisata.
Catatan:Tulisan ini pertama kali terbit di blog lama Mahéng pada 14 Januari 2020, dan kini direpublikasi dengan penyuntingan di maheng.net.


Komentar
Posting Komentar