Mencari Toko Buku di Tanah Kayong yang Kaya Tradisi tapi Miskin Akses Literasi

Beberapa waktu lalu, seusai acara Yayasan IAR Ketapang, muncul seorang ibu yang entah dari dimensi mana, nyamperin saya dengan semangat kayak baru ketemu bintang iklan lotion penghalus dengkul.

“Mahéng!” ujarnya fasih dan penuh semangat, seolah kami sudah lama nggak ngopi bareng di Kafe Basabasi Condongcatur, tempat ratusan korea-korea yang ingin melenting itu biasa nongkrong.

Saya spontan nyengir, sementara otak saya kerja keras menggali data diri ibu ini. Begitu saya minta maaf karena lupa wajah dan namanya, ia malah ketawa.

“Oh, kita emang nggak saling kenal. Saya cuma tahu kamu dari esai.”

Saya menduga esai yang dimaksud adalah tulisan saya berjudul Nyari Toko Buku di Ketapang Lebih Susah daripada Nyari Kuyang?

Tanah Kayong: Kaya Tradisi, Miskin Akses Literasi

Ketapang dulu disebut Tanah Kayong, tempat kerajaan Tanjungpura yang sudah ada sejak abad ke-8. Ia pernah menjadi salah satu kerajaan terbesar di Kalimantan Barat. Kesultanan Matan yang meneruskannya dikenal sebagai peradaban tua yang tersohor hingga ke Nusantara. 

Bahkan Sultan Pontianak, Syarif Abdurrahman Alkadrie, lahir di sini.

Nama Kayong punya banyak versi. Ada yang bilang berasal dari kahayung, artinya air jernih, lambang kehidupan yang bersih dan subur. Ada juga yang percaya Kayong adalah nama seorang tokoh di masa Bakulapura, yang dihormati karena kebijaksanaannya.

Sekarang, air sungai berubah warna, tanah dijual atas nama proyek, dan warganya tetap miskin; miskin akses literasi, juga miskin beneran, yang bikin mirisnya dobel.

Dulu, di Tanah Kayong, orang bisa ngobati patah tulang pakai doa, meskipun tetap nggak bisa ngobati patah hati. 

Mereka tahu arah angin tanpa buka BMKG, bisa nyari alamat cuma modal mimpi. Tanah orang-orang sakti dan berilmu. Kaya tradisi, kaya cerita, kaya spiritualitas. Sekarang, tanah sekaya itu justru miskin infrastruktur intelektual untuk merawatnya.

Saya Tahu Rasanya Darurat Akses

Disclaimer dulu, saya nggak sedang jadi book snob. Ini bukan soal kasta bacaan atau soal mana buku yang “berkualitas.”

Saya lahir di Aceh, dan saya tahu betul rasanya hidup dalam darurat akses literasi.

Lalu saya tinggal di Jogja bertahun-tahun. Di sana, toko buku muncul lebih sering daripada iklan pinjol dan PayLater, sebelum akhirnya digantikan oleh coffee shop dan konten motivasi tentang cara cepat kaya dalam tujuh hari.

Di Jogja, literasi adalah privilege yang dinikmati meski jarang disyukuri. Dan kini, setelah pindah ke Ketapang, saya kembali merasakan betapa akses ke buku bukan cuma soal jarak, tapi juga soal prioritas dan kebijakan.

Di sini, anggaran untuk literasi terasa seperti anak tiri. Pemerintah daerah lebih sibuk promosi wisata, termasuk Keraton Matan yang atapnya mulai copot dan hanya buka kalau ada pejabat datang untuk foto, daripada membangun perpustakaan layak atau memberi subsidi toko buku.

Masa Iya di Ketapang Nggak Ada Toko Buku?

Dulu pernah ada toko buku lumayan gede di Ketapang. Tapi kabarnya, Return on Investment-nya nggak masoook.

Akhirnya mereka putar haluan—entah jadi toko oleh-oleh, entah konter pulsa, entah mungkin sekarang jual parfum refill.

Sekarang, yang tersisa cuma satu toko buku di mal. Itu yang saya tahu.

Ilustrasi Toko Buku Kayong yang sepi di mal Ketapang, kontras dengan siluet rumah adat Kayong. Melambangkan kesulitan akses literasi dan kelangkaan toko buku di Tanah Kayong yang kaya tradisi.

Toko itu buka hanya tiga kali seminggu: Sabtu, Minggu, dan Rabu. Isinya... ya, begitulah.

Sementara di Jogja, kaum book snob sibuk memperdebatkan mana karya sastra dan mana bukan, di Ketapang kami belum punya cukup buku untuk diperdebatkan.

Pejabat Darurat Baca, Lebih Senang Pamer Harta

Kalau pihak swasta sudah angkat tangan, kenapa pemerintah daerah masih diam saja?

Faktanya, banyak pemerintah daerah, termasuk Ketapang, tampak belum menjadikan literasi sebagai prioritas. Pamer proyek fisik dan komoditas masih terasa lebih mudah dijual daripada investasi pada kecerdasan warganya.

Dulu, di Tanah Kayong, orang sakti bisa mencari alamat cuma modal mimpi. Sekarang, pejabat masih mencari-cari cara agar buku bisa disubsidi dan mudah diakses.

Kelangkaan akses buku ini bukan cerminan kurangnya minat baca. 

Ia lebih menunjukkan betapa timpangnya sistem distribusi, dan bagaimana kapitalisme ritel yang Jawa-sentris membuat banyak daerah seperti Ketapang tertinggal dalam hal paling sederhana: akses pada bacaan.

Tanah Kayong bukan cuma butuh turis yang datang buat foto-foto di makam kuno. Ia butuh anak-anak yang bisa membaca, menulis, dan menceritakan ulang sejarah nenek moyangnya sendiri.

Mungkin nanti, ketika proyek fisik dan komoditas sudah kokoh, barulah kita ingat: ada yang lebih penting dari membangun menara, yaitu membangun kepala. 

Kalau kamu pernah kesulitan mengakses literasi, bagikan pengalamanmu di komentar—siapa tahu bisa menjadi inspirasi bagi Tanah Kayong.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahéng: Arti Sebuah Nama dan Perjalanan Menemukan Diri

5 Teknik Kunci Menguasai Struktur Naratif Fiksi dan Non-Fiksi untuk Pemula

Untuk Diriku Sendiri yang Terbangun Malam-Malam